Liputan6.com, Jakarta - Matahari belum naik satu galah, saat Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin keluar kantor Daker Makkah untuk menyapa jemaah. Memilih berjalan kaki, Menag menyusuri jalan menuju hotel 605 dan 601 di wilayah Syisyah.
Lukman kembali mengunjungi pemondokan jemaah haji Indonesia di Mekah, tepatnya di hotel 601 dan 605 sektor 6.
Advertisement
Lukman menyambangi tukang becak Pasar Atom Surabaya bernama Maksun dan Marbut Masjid Al Munawwar Tulunggagung bernama Mulyono. Keduanya kini sudah berada di kota kelahiran Nabi Muhammad SAW untuk menunaikan ibadah haji.
"Assalamualaikum," kata Menag disambut Maksun yang sedang duduk di kamar, Kamis 24 Agustus 2017.
Keduanya lalu berbincang ringan seputar haji. Kepada Lukman, Maksun bertutur tentang usahanya menabung hingga 20 tahun untuk bisa mendaftar haji.
Sebagai tukang becak, pendapatan Maksum tidak tentu, kadang ada sisa, seringkali pas-pasan. Namun, Maksun mengaku mengumpulkan yang sedikit itu karena ingin berziarah ke Makkah dan Madinah.
"Jika sudah terkumpul 300-500 ribu, baru saya tabung di Simpedes," cerita Maksum kepada Menag Lukman.
Dengan becak, Maksum mencari nafkah untuk dirinya yang kini sudah tidak lagi direpoti anak-anaknya. Enam dari empat belas keturunannya yang masih hidup sudah mempunyai kehidupan sendiri-sendiri. Maka, jika masih ada sisa dari hasil menarik becak, Maksum mengumpulkannya sampai 20 tahun hingga dia bisa mendaftar haji pada 2010 lalu.
"Percaya pada Allah. Kalau Allah menghendaki maka tidak ada yang sulit bagi-Nya," katanya berbagi kiat.
Maksum kini sedang menunaikan ibadah haji di Makkah Al Mukarramah. Tergabung dalam kloter 6 Embarkasi Surabaya (SUB 06), dia kini sedang menunggu puncak pelaksanaan haji, wukuf di Arafah pada 31 Agustus mendatang.
Satu kekhawatiran yang dia sampaikan langsung kepada Menag, yaitu tidak bisa menjadi pribadi yang lebih baik setelah pulang ke Tanah Air.
"Saya takut kalau sebelum haji berusaha baik misalnya sembahyang, lalu setelah pulang ke Indonesia malah tidak lebih baik. Itu yang suka saya pikirkan, Pak," katanya kepada Lukman.
"Saya hanya bisa meminta pertolongan kepada Allah," sambungnya.
Kisah Perjuangan Marbot
Dari kamar Maksun di hotel 605, Menag lalu berpindah ke kamar Mulyono di 601. Mulyono adalah seorang marbut masjid. Di usianya yang ke-75, takdir mengantarkan pria yang telah mengabdi di Masjid Al Munawwar Tulungagung selama puluhan tahun ini menjadi tamu Allah. Sebagaimana Maksun, Mulyono kini di Makkah untuk menanti puncak haji, wukuf di Arafah.
"Kesibukan sehari-hari saya adalah marbot masjid, tukang ngepel dan bersih-bersih masjid. Ini sudah berjalan 30 tahun," kisah Mulyono saat disambangi Menag di kamarnya.
Dia mengaku biaya untuk berangkat hajinya diperoleh dari pemberian jemaah dan tamu yang dia kumpulkan. Sedikit demi sedikit ditabung dalam kurun sekitar 20 tahun. Tahun 2011, dia baru mendaftarkan diri untuk berhaji.
"Sepulang berhaji, saya akan ke masjid lagi. Saya senang saat pertama kali melihat Kabah. Tapi cukup capek juga saat Tawaf dan Sai. Segeralah berhaji. Mudah-mudahan menjadi haji mabrur. Semoga pada bisa daftar haji dan hajinya diterima," tutur Mulyono .
Menag mengaku beryukur bisa bertemu dengan Maksun dan Mulyono. Menurutnya kedua sosok itu adalah contoh bagaimana tekad dan usah yang kuat bisa mengantarkan seseorang mencapai mimpi dan cita-citanya.
"Ini adalah bukti betapa komitmen dan tekad yang kuat untuk menjalankan rukun Islam kelima, meski dalam kondisi seperti ini, dengan tekad besar akhirnya mereka mampu mewujudkan keinginan untuk berhaji," kata Menag.
"Ini pelajaran baik. Cita-cita dapat kita wujudkan selama bersungguh-sungguh dalam mewujudkannya," lanjutnya.
Maksun dan Mulyono adalah contoh bahwa haji adalah panggilan. Haji memang diwajibkan bagi yang mampu. Namun kemampuan tidak selalu identik dengan kekayaan materi. Karena, banyak orang yang mampu secara materi justru tidak kunjung berhaji.
Saksikan video di bawah ini:
Advertisement