Liputan6.com, Cirebon - Kabupaten Kuningan tak hanya dikenal dengan keindahan alam dan Ciremai atau Ceremai yang merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat. Di tengah keasrian Kabupaten Kuningan, ada peran masyarakat adat Sunda Wiwitan yang menjaga dan melestarikan alam. Mereka kini menamakan diri Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan.
Namun demikian, seperti apa perjalanan panjang masyarakat yang biasa disebut Sunda Wiwitan itu? Filolog Cirebon, Opan Rachman Hasyim, menyebutkan Sunda Wiwitan sudah ada jauh sebelum Islam dan agama lain yang resmi masuk di Indonesia.
"Tapi ingat, Sunda Wiwitan bukan agama, lebih kepada keyakinan masyarakat di Cigugur," ucap pria yang akrab disapa Opan ini, Kamis, 24 Agustus 2017.
Baca Juga
Advertisement
Dia menjelaskan, Sunda Wiwitan merupakan keyakinan masyarakat Sunda yang sudah menjadi budaya setempat. Keyakinan itu sebetulnya lebih banyak ke arah yang positif.
Seperti ajaran tentang melestarikan lingkungan, perlakuan yang baik terhadap alam, sumber air, dan perlakuan yang mulia terhadap Dewi Sri atau Dewi Padi. Sebab, saat itu orang Sunda hidupnya tergantung dari pangan, dalam hal ini padi hingga menjadi makanan pokok orang Indonesia.
"Saya menilai Sunda Wiwitan bukan agama, tapi keyakinan terhadap sebuah tradisi yang berlangsung ratusan tahun lalu," ujar dia.
Opan menyebutkan, hingga saat ini, kaum Sunda Wiwitan sudah memasuki generasi ketiga. Pada generasi pertama, sekitar tahun 470 Masehi, masyarakat Cigugur mengenal seorang resi adat bernama Ki Ageng Pandara.
Bertemu Sunan Gunungjati
Sosok Ki Ageng Pandara inilah yang dianggap sebagai seorang resi yang selalu tasawuf selama hidupnya. Setiap hari selalu membersihkan diri, baik fisik maupun batin sambil menyebut nama Tuhan.
"Sampai pada suatu saat datang Sunan Gunungjati dan heran melihat tubuh pakaian Ki Ageng Pandara, kok bersih dan hatinya juga bersih. Keduanya pun bertemu," kata dia.
Dalam pertemuan tersebut, Ki Ageng Pandara mengatakan sesuatu kepada Sunan Gunung Jati.
"Sini nak, eyang sudah lama menunggu kamu. Eyang sudah capek menunggu kamu ratusan tahun lalu. Eyang ingin pulang, cuma eyang enggak tahu jalannya."
Sunan Gunungjati menjawab, "Baiklah eyang, eyang bisa sebut syahadat."
"Eyang pun mengaku bisa lalu menyebut bacaan syahadat, tapi Beliau tidak bisa menyebut bacaan Muhammad Rasulullah. Ketika diajari Sunan Gunungjati menyebut Muhammad Rasulullah, Ki Ageng Pandara langsung moksa atau menghilang bersama raganya, saking sucinya," tutur Opan.
Usai membantu Ki Ageng Pandara pergi, Sunan Gunungjati mengangkat Arya Kemuning menjadi bupati pertama Kuningan dan menyebarkan ajaran Islam. Sementara itu, anak buah Ki Ageng Pandara yang tidak bisa mengikuti jejak pemimpinnya menjadi ikan Dewa.
"Itu kan sebetulnya ajaran supaya menjaga lingkungan," Opan menambahkan.
Pada masa Arya Kemuning, sebagian besar masyarakat di Kabupaten Kuningan menganut Islam. Namun demikian, Arya Kemuning maupun Sunan Gunungjati tidak menghilangkan tradisi, budaya, serta ajaran kebaikan dari Sunda Wiwitan.
Hanya saja, lambat laun, tradisi Sunda Wiwitan tersebut mulai luntur dan sempat ditinggalkan oleh masyarakat, kecuali di daerah Cigugur. Masuk ke generasi kedua kaum Sunda Wiwitan, sekitar tahun 1930, kembali dihidupkan oleh Kiai Muhammad Rais atau dikenal dengan Pangeran Sadewa Madrais Alibasa.
Advertisement
Keturunan Sunan Gunungjati
Kiai Muhammad Rais berdasarkan catatan Kuningan merupakan keturunan dari Pangeran Alibasa. Sementara itu, Pangeran Alibasa masih memiliki keturunan Sunan Gunungjati.
"Karena itu, dihidupkan kembali oleh Ki Muhammad Rais katanya dalam catatan kuningan berasal dari Gebang, keturunan Pangeran Ali Basa yang masih memiliki garis keturunan Sunan Gunung Jati.
"Ada cerita kontroversi di generasi kedua ini, tapi sebagian besar meyakini Kiai Muhammad Rais merupakan turunan Sunan Gunungjati dari garis keluarga Gebang Kabupaten Cirebon," ucap dia.
Dalam membangkitkan kembali kaum Sunda Wiwitan, Kiai Muhammad Rais turut berperang dan menjadi tokoh gerakan kebangkitan kebangsaan melalui gerakan kebudayaan. Usai berjuang melawan Belanda dan merebut kemerdekaan Indonesia, kaum Sunda Wiwitan diberikan kepada turunannya, yakni Pangeran Tedja Buana pada tahun 1948.
"Setelah Pangeran Tedja Buana penokohan Sunda Wiwitan Cigugur diserahkan kepada Pangeran Djati Kusuma. Kalau orang dulu ke lingkungan itu tidak merusak. Misal ada kearifan lokal di situ ya dilanjutkan, ada yang salah ya dibeneri," tutur Opan.
Misalnya, sebelum Islam datang ada tradisi mandi suci, di Islam juga ada mandi suci. "Tinggal apa yang belum sempurna dari situ seperti belum ada niat, ya diberikan bacaan niat, ditutup dengan apa supaya tetap suci ditutup dengan wudu," ujar dia.
Kaum Sunda Wiwitan Tolak Eksekusi Lahan
Sebelumnya, masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan sempat menggelar aksi tidur di jalan untuk menghalangi rencana eksekusi tanah adat wilayah cagar budaya Gedung Paseban Tri Panca Tunggal di Desa Cigugur, Kabupaten Kuningan, oleh Pengadilan Negeri (PN) Kuningan, Kamis, 24 Agustus 2017.
Akhirnya, PN Kuningan menggagalkan rencana eksekusi lahan Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan di Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jabar.
Penggagalan tersebut lantaran PN Kuningan khawatir akan terjadi korban jiwa. Panitera PN Kuningan Andi Lukmana mengatakan, pihaknya bersama kepolisian sepakat menggagalkan rencana eksekusi tersebut agar tidak menimbulkan korban.
"Jadi amar putusan perkara nomor 07 tahun 2009 yang dimenangkan Djaka Rumantaka digagalkan karena kondisi tidak memungkinkan," kata Andi.
Dia menegaskan, jika ada korban, permasalahan akan lebih panjang. Namun demikian, dia memastikan penggagalan eksekusi hanya berarti ditunda.
Dia mengatakan pula, akan ada eksekusi lagi kembali di lahan tersebut. Namun, hal itu tergantung pengajuan pemohon Djaka Rumantaka untuk mengajukan eksekusi kembali.
Sementara itu, saat ekskusi, Polwan dan ibu-ibu masyarakat Adat Karuhun Urang saling berhadapan. Sempat terjadi saling dorong antara ibu-ibu Sunda Wiwitan dan Polwan. Masyarakat adat pun membuat rantai manusia agar tidak terjadi pembobolan pertahanan.
Saat ibu-ibu dan Polwan sudah bergeser, para bapak dan polisi laki-laki menggantikan posisi mereka.
"Beberapa ormas seperti GMBI, Gempur, sepakat bertahan sampai titik darah penghabisan. Dan sampai kapan pun kami akan jaga tanah leluhur kami," kata Girang Pangaping Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR), Oki Satria.
Dia mengaku akan terus berupaya melakukan langkah hukum untuk mempertahankan warisan tanah leluhur mereka. Dia menyebutkan eksekusi tersebut sudah tiga kali digagalkan.
Dalam upaya menempuh jalur hukum tersebut, masyarakat adat juga pernah berkonsultasi dengan ahli hukum adat dari UI dan Universitas Sriwijaya.
"Hasilnya tetap pengadilan tidak bisa melihat dari perspektif ahli waris, tapi harus melihat dari perspektif masyarakat adat," ujar dia.
Advertisement