Pembatasan Impor Bahan Baku Hambat Industri Lokal

Pemerintah diharapkan menentukan skema yang tepat dalam regulasi impor bahan baku industri.

oleh Septian Deny diperbarui 25 Agu 2017, 18:00 WIB
Suasana aktivitas bongkar muat barang ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/7). Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kinerja ekspor dan impor Indonesia mengalami susut signifikan di Juni 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Wacana larangan dan pembatasan (lartas) impor bahan baku dikhawatirkan akan menghambat pertumbuhan industri dalam negeri. Sebab, selama ini industri masih membutuhkan bahan baku impor, seperti jagung, garam, tembakau, gula, dan lain-lain lantaran belum mampu dipenuhi di dalam negeri.

Deputi III Kepala Staf Kepresidenan, Denni Puspa Purbasari, mengatakan, kebijakan impor bahan baku industri akan lebih baik menggunakan skema tarif, dibandingkan skema kuota. Alasannya, dengan skema tarif, pemerintah bisa mengendalikan harga dengan efektif.

“Target Presiden menginginkan peringkat Ease of Doing Business (EoDB) Indonesia naik ke-40 dan di dalam EoDB ada indikator Trade Across Border. Terkait ini semua kementerian dan lembaga perlu berhati-hati dalam mengeluarkan regulasi termasuk Lartas, karena sangat terkait dengan daya saing industri," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (25/8/2017).

Melalui skema tarif, lanjut dia, menjadikan persaingan harga lebih adil. Tarif [impor]( larangan dan pembatasan "") bahan baku industri juga sebaiknya lebih rendah dibandingkan nonbahan baku.

Dengan demikian, pemerintah tetap bisa melindungi produsen bahan baku industri lokal dengan menerapkan tarif impor dengan besaran tertentu. Sebaliknya, negara memperoleh pemasukan dari bea masuk tarif yang ditentukan.

Munculnya rancangan peraturan larangan dan pembatasan impor bahan baku industri sedang menjadi topik pembahasan di kalangan pelaku industri. Pemerintah diharapkan menentukan skema yang tepat dalam regulasi impor bahan baku industri, mengingat komoditas impor, seperti jagung, gula, garam, dan tembakau misalnya, merupakan bahan baku utama bagi industri.

Hal senada diungkapkan pengamat perpajakan, Yustinus Prastowo. Menurut dia, sistem kuota rawan dimanipulasi. “Sistem kuota rawan diperjualbelikan dan rawan rent seeker," kata dia.

Tonton Video Menarik Berikut Ini:


Tembakau

Sementara itu, Perwakilan Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Fedaus, mengharapkan agar kebijakan perdagangan, khususnya peraturan larangan dan pembatasan (lartas) impor terkait sektor tembakau, dapat dirumuskan secara hati-hati, tidak tergesa-gesa, dan menyesuaikan kondisi di lapangan.

“Yang terjadi saat ini, pasokan tembakau domestik belum dapat mencukupi kebutuhan industri nasional,” ungkap dia.

Kebijakan yang tergesa-gesa, kata Ferdaus, dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap target pertumbuhan ekonomi, mengingat sektor tembakau memberi kontribusi signifikan bagi ekonomi nasional. Industri hasil tembakau menghasilkan penerimaan pajak cukai sebesar Rp 143 triliun, serapan tenaga kerja sekitar 6 juta orang, dan devisa ekspor yang mencapai US$ 468 juta.

"Kinerja industri tembakau nasional sudah tidak bertumbuh sejak tahun 2014 dan terus mengalami penurunan. Oleh karenanya, kebijakan lartas yang sedang dirumuskan oleh pemerintah seyogianya jangan menjadi tambahan beban bagi industri dan harus memberikan grace period untuk memastikan kesiapan para pelaku usaha," tandas dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya