Liputan6.com, Jakarta - Publik kembali dikagetkan dengan penangkapan penyebar kabar palsu atau hoax, Saracen Cyber Team. Tren hoax sebenarnya tak hanya terjadi Indonesia, melainkan juga di seluruh dunia.
Salah satu yang juga sempat dihantam dengan kabar palsu atau hoax adalah pemilu presiden Amerika Serikat 2016. Ketika itu, masyarakat Amerika Serikat dibombardir dengan penyampaian hoax yang berasal dari media sosial dan aplikasi chatting.
Baca Juga
Advertisement
Kondisi ini menunjukkan bahwa ada sekelompok orang yang memang menjadikan isu SARA di media sosial sebagai barang jualan. Di Indonesia sendiri, sebelumnya ada akun Twitter TrioMacan yang berhasil dibekuk tim administrasinya.
Menanggapi kasus semacam itu, pakar keamanan siber Pratama Persadha menuturkan, media sosial dan aplikasi chatting, seperti WhatsApp menjadi sarana favorit penyebar hoax. Alasannnya, kedua layanan itu sudah memiliki banyak pengguna di Tanah Air.
Sekadar informasi, pemakai internet di Indonesia saat ini sudah mencapai lebih dari 132 juta orang, 100 juta di antarannya terdaftar pengguna layanan Google sedangkan pemakai Facebook dan WhatsApp sudah lebih dari 80 juta. Jumlah itu membuat layanan ini menjadi peluang bagi penyebar hoax.
"Dengan bantuan teknologi membuat konten hoax menjadi sangat cepat dan tepat sasaran. Para pelaku dapat mengelompokkan orang-orang di grup WhatsApp dan Facebook berdasarkan agama, daerah, suku, termasuk sasaran para pelaku," ujar Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber Communication and Information System Research Center (CISSRec) kepada Tekno Liputan6.com, Jumat (25/8/2017).
Ia juga menuturkan, langkah penangkapan penyebar hoax oleh Kepolisian Republik Indonesia sudah bagus dan dapat diapresiasi. Namun tak sekadar itu, pemerintah sebaiknya dapat melakukan langkah pencegahan dengan mengatur lebih tegas pembelian nomor seluler baru.
Perlunya edukasi
"Di Indonesia, setiap orang dapat dengan bebas membeli nomor baru, padahal nomor seluler adalah syarat untuk membuat email dan media sosial, termasuk aplikasi chatting, seperti WhatsApp dan Telegram. Ini pintu masuknya, di banyak negara aturan pembelian nomor baru disertai identitas tak sekadar registrasi asal-asalan," tutur mantan pejabat Lembaga Sandi Negara ini.
Ia juga menjelaskan, pemerintah seharusnya dapat mewajibkan pembelian nomor seluler diikuti dengan informasi KTP elektronik. Menurutnya, ada batas yang jelas untuk pembelian sehingga setiap nomor aktif terintegrasi dengan data KTP elektronik. Hal itu dilakukan untuk mencegah para pelaku melakukan 'ternak akun'.
"Tanpa keleluasan untuk ternak akun, jelas akan mempersulit para pemain layanan konten hoax untuk bergerak," ujarnya. Pemerintah juga dapat meminta penyedia layanan media sosial untuk melakukan filter konten, seperti yang sudah dilakukan dengan Telegram.
Terkait pemesanan yang isunya banyak dari kalangan politisi, Pratama mengimbau masyarakat menunggu pengusutan lebih lanjut. Jika masih sebatas dugaan, hanya akan menambah kisruh di masyarakat. Pelaku dapat mengambil keriuhan media dari isu yang mereka sebar.
"Beberapa pihak melihat ini, mengapa tidak terus diramaikan saja, meski konstelasi pemilu sudah berakhir. Korbannya jelas masyarakat. Untuk itu, pemerintah selain bertindak tegas, lewat pendekatan hukum oleh aparat sebaiknya menertibkan penjualan nomor seluler," tuturnya.
Masyarakat juga perlu diedukasi sedari dini, agar menjadi warganet yang baik. Pemerintah harus dapat mendorong warganet Tanah Air sibuk menghasilkan konten positif.
(Dam/Cas)
Tonton Video Menarik Berikut Ini:
Advertisement