Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKS, Sukamta, tak hanya mengapresiasi kinerja Polri dalam mengungkap sindikat Saracen yang diduga menyebarkan ujaran kebencian di media sosial.
"Momentum ini diharapkan mampu menjadi shock therapy. Pemerintah sebaiknya melakukan penindakan terhadap organisasi yang serupa dengan Saracen, yang sangat boleh jadi lebih besar, lebih terorganisasi dan memiliki modal lebih besar," ujar Sukamta di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (26/8/2017).
Advertisement
Menurut Sukamta, keberanian Polri mengungkap jaringan-jaringan lainnya tanpa tebang pilih tentu ditunggu masyarakat. Jika ini konsisten dilakukan, efek shock therapy bisa terwujud.
Lebih lanjut, Sukamta mendorong pemerintah agar segera melaksanakan kebijakan yang bersifat makro, untuk memutus mata rantai konten negatif dan hoax atau berita bohong.
Pertama, secara serius melakukan edukasi kepada masyarakat sehingga lebih melek media sosial dan internet, sehingga mampu menggunakan dengan bijak dan produktif.
Menurut Sukamta, upaya edukasi ini secara masif dapat dilakukan dengan melibatkan dunia pendidikan, institusi keagamaan, dan organisasi masyarakat.
Kedua, lanjut Sukamta, untuk melakukan tata kelola konten, termasuk menindak kejahatan siber seperti ini, sudah ada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE.
Namun, kata Sukamta, spirit perubahan undang-undang ini belum dapat dilaksanakan secara maksimal. Karena peraturan-peraturan di bawahnya seperti peraturan pemerintah (PP), peraturan menteri (Permen), dan seterusnya belum lengkap.
Maka itu, Sukamta menegaskan, pemerintah harus segera menyiapkan agar pemberantasan konten negatif di dunia maya dapat berjalan dengan pedoman yang jelas dan terarah.
"Upaya pemerintah yang sedang merevisi PP Nomor 82 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik perlu diapresiasi. Tapi kita sejak awal juga mendesak pemerintah agar segera membuat peraturan-peraturan yang merupakan amanat UU ITE yang lain," kata dia.
"Termasuk soal pemblokiran sistem elektronik yang mengandung konten negatif yang hingga kini juga belum ada PP-nya," Sukamta melanjutkan.
Ketiga, Sukamta melanjutkan, pemerintah perlu membuat aturan yang dapat mengikat pada provider dan penyedia layanan media sosial, untuk melakukan filter terhadap konten negatif dan hoax atau berita bohong.
Tim Panel
Dalam hal ini, kata Sukamta, pemerintah perlu membuat tim panel yang melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), tokoh agama, akademisi, dan ahli informasi teknologi (IT) sebagai tim yang dapat memberikan masukan konten negatif.
"Mana sajakah yang perlu dihentikan dengan penanganan dari provider dan penyedia jasa media sosial? Keberadaan tim panel ini penting untuk menghindarkan pemerintah melakukan penafsiran secara tunggal," kata dia.
Sukamta menilai, Saracen hanyalah salah satu organisasi akun anonim dari sekian banyak yang memanfaatkan rendahnya literasi masyarakat. Seperti jelang pilkada pasti akan banyak yang menyinggung soal isu SARA.
"Dalam ajang pemilu atau pilkada, biasanya semua pendukung dari calon-calon yang ada juga melakukan ujar kebencian atau yang menyinggung SARA. Karena itu, pemerintah harus adil dan tidak tebang pilih dalam menindak para pelaku penyebar konten negatif ini," tandas Sekretaris Fraksi PKS ini.
Dalam kasus Saracen, polisi telah menangkap tiga tersangka. Ketiganya adalah Jasriadi alias JAS yang merupakan Ketua Saracen, MFT yang berperan sebagai koordinator media dan Informasi, serta Sri Rahayu Ningsih alias SRN yang berperan sebagai koordinator wilayah.
Kepolisian masih mencari tersangka lain yang merupakan admin jaringan Saracen. Polisi juga memburu pihak-pihak yang pernah memesan konten terlarang melalui sindikat tersebut.
Saksikan video menarik berikut:
Advertisement