Liputan6.com, Jakarta - Ketua Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agun Gunandjar Sudarsa mengatakan, perlindungan terhadap saksi merupakan lex spesialis atau hukum bersifat khusus, dalam hal ini untuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Agun menyebutkan, sesuai Pasal 36 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, bahwa LPSK dapat bekerja sama dengan lembaga yang berwenang.
Advertisement
"Di situ kata-katanya dapat, bukan wajib. Sehingga perlindungan saksi dan korban adalah lex spesialis, bukan kewenangan KPK," ujar Agun di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (28/8/2017).
Agun menjelaskan, berdasarkan keterangan LPSK menegaskan bahwa fungsi koordinasi KPK terhadap lembaga lain tidak dilaksanakan.
Menurut Agun, jangankan koordinasi, LPSK minta bertemu saja tidak direspons. Padahal seharusnya, kata dia, LPSK bisa berkoordinasi dengan KPK.
"Bahkan, LPSK telah berkirim surat kepada KPK untuk bertemu dan dialog dengan pimpinan KPK, namun tidak pernah dijawab," kata dia.
Karena itu, Pansus Angket KPK berpandangan lembaga antirasuah telah melanggar karena menyediakan safe house atau rumah aman, juga terkait habisnya masa kerja sama antara LPSK dengan KPK pada 2015.
"KPK dan LPSK hingga saat ini belum melakukan pembahasan atas habisnya nota kesepahaman, soal rumah aman atau safe house ini," kata dia.
Senada dengan Agun, anggota Pansus Hak Angket KPK Mukhamad Misbakhun mengatakan, lembaga antirasuah tersebut tidak memiliki kewenangan membuat safe house, bagi saksi atau pelapor kasus korupsi.
'Penyekapan'
Menurut Misbakhun, kewenangan menyediakan rumah aman sepenuhnya dipegang LPSK, seperti diatur UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Sehingga, dia berpendapat, KPK melanggar aturan jika menyediakan safe house tanpa diketahui LPSK.
"Kalau ada perlindungan saksi tanpa koordinasi dengan LPSK dan mengadakan safe house sendiri dengan alasan tertentu, itu adalah penyekapan," kata dia.
Misbakun menjelaskan, salah satu korban penyekapan KPK adalah Niko Panji Tirtayasa, saat menjadi saksi kasus dugaan suap sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK).
Niko ditempatkan KPK di dua lokasi yaitu Depok, Jawa Barat dan Kelapa Gading, Jakarta Utara, tanpa koordinasi terlebih dahulu dengan LPSK.
Misbakhun menilai, penempatan Niko di luar koordinasi LPSK saat menjadi saksi juga melanggar HAM.
Selain tidak sesuai prosedur, kata dia, Niko sempat mengaku kepada Pansus Hak Angket KPK tidak diberi kesempatan berkomunikasi, atau meninggalkan lokasi tempatnya berada saat itu.
"Perampasan kebebasan orang dan itu adalah pelanggaran HAM berat," tutur dia.
Politikus Partai Golkar ini menyebutkan, pihaknya akan mendorong KPK mengklarifikasi terkait memberi perlindungan kepada saksi, karena tugas utama lembaga tersebut adalah menyelidiki korupsi.
"Nanti kita akan konfrontir pendapat tersebut saat memanggil KPK," tandas Misbakhun.
Advertisement
KPK Siap Jawab 11 Poin
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) angkat bicara terkait temuan Pansus Angket mengenai 11 dugaan pelanggaran lembaga antikorupsi ini.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, menyampaikan sejumlah poin tersebut sebenarnya dapat dijelaskan saat nanti pihak Pansus Angket KPK melakukan konfirmasi.
"Secara resmi kita juga belum terima 11 itu apa saja. Tapi dari beberapa pernyataan anggota Pansus dan dari pemberitaan kan baca juga, ada sejumlah poin ya yang menurut kami itu sangat mudah dijelaskan," tutur Febri di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa, 22 Agustus 2017.
Sejumlah poin yang ada di antaranya menyebutkan bahwa KPK menjadi lembaga yang anti-kritik. Lainnya juga terkait pengawasan dan penggeledahan yang dinilai melanggar prosedur hukum dan bahkan hak asasi manusia.