Liputan6.com, Jakarta Pengembang perumahan menyambut baik rencana pemerintah meluncurkan skema pembiayaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) informal. Sebab selama ini mayoritas backlog atau kesenjangan perumahan berasal dari para pekerja informal ini.
Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo mengatakan, 70 persen dari backlog perumahan yang diperkirakan mencapai 11,4 juta unit tersebut berasal dari para pekerja informal, antara lain pedagang, petani dan lain-lain.
"Dari backlog itu, 70 persennya dari pekerja informal," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Selasa (29/8/2017).
Baca Juga
Advertisement
Eddy menuturkan, salah satu masalah utama pekerja informal sehingga tidak bisa mendapatkan kredit kepemilikan rumah (KPR) yaitu pendapatan yang tidak tetap. Oleh sebab itu, golongan masyarakat ini dianggap tidak masuk dalam kritetia yang ditentukan oleh perbankan sebagai pemberi KPR.
"Nah ini mereka yang di perbankan tidak bankable. Padahal banyak sektor informal yang penghasilannya masuk (mencukupi) untuk mengakses pembiayaan perumahan. Cuma di perbankan mereka dianggap tidak bankable, ini masalahnya. (Tidak punya) Slip gaji itu salah satunya, tidak punya makanya dianggap tidak bankable," jelas dia.
Oleh sebab itu, dengan ada skema pembiayaan rumah berupa bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT) yang akan diluncurkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dapat mengatasi masalah yang dihadapi para pekerja informal ini.
"Akan lebih bagus lagi jika pemerintah menyiapkan pola penjaminan terhadap masyarakat informal untuk mendapatkan rumah. Jadi ada jaminan dari pemerintah kepada perbankan, jadi yang tidak bankable ini menjadi bankable," ujar dia.
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:
Cara Pemerintah Agar Pekerja Informal Punya Rumah
Sebelumnya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah meluncurkan pembiayaan mikro perumahan (PMP) untuk rumah swadaya bagi pekerja informal. Pekerja informal sendiri merupakan pekerja dengan penghasilan tidak tetap seperti penjual bakso, satai, tukang cukur, dan lainnya.
Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Lana Winayanti mengatakan, skema pembiayaan mikro perumahan menjembatani pemenuhan kebutuhan pekerja informal melalui bantuan akses pembiayaan ke perbankan untuk membangun rumah inti tumbuh (RIT) maupun rehabilitasi rumah.
Sebelumnya telah ditandatangani nota kesepahaman antara Kementerian PUPR dengan PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), PT Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE), PT Pegadaian, dan Yayasan Habitat Kemanusiaan Indonesia (YHKI) di Semarang, Rabu 23 Agustus lalu.
"Dari berbagai kajian ekonomi, skema ini merupakan skema yang cocok bagi pekerja informal. Dengan besaran plafon maksimal Rp 50 juta dan jangka waktu angsuran maksimal 5 tahun, sesuai dengan karakteristik pekerja informal, hal ini akan mengurangi risiko kredit macet," kata Lana dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu 26 Agustus 2017.
Skema pembiayaan mikro perumahan ini bersifat bertahap dan berulang. Dana yang diperoleh dari kredit mikro tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan atau rehabilitasi rumah secara bertahap. Kredit yang diberikan maksimal Rp 50 juta dengan jangka waktu angsuran maksimal 5 tahun di mana setelah lunas, debitur dapat mengajukan pinjaman kembali dengan besaran dan jangka waktu yang sama.
"Pemanfaatannya fleksibel, misalnya pinjaman pertama untuk kegiatan pembelian kavling tanah, bangun pagar, bangun pondasi, atau bangun konstruksi bangunan. Kemudian jika pinjaman sudah lunas, bisa mengajukan pinjaman baru untuk mengembangkan rumah, misalnya menambah kamar, toilet, atau perbaikan rumah lainnya," ujar Lana.
Advertisement