Liputan6.com, Jakarta Rasio kepemilikan mobil di Indonesia masih rendah. Dari 1.000 orang, hanya ada 80 yang punya mobil. Itu pun tersentralisasi di kota-kota besar. Sementara kalau melihat negara lain, misalnya Thailand, rasionya sudah 200 per 1.000 orang.
Warih Andang Tjahjono, Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), mengatakan bahwa di antara beragam strategi, ada satu yang patut dikedepankan untuk meningkatkan rasio tersebut. Caranya dengan menciptakan rantai produksi lokal.
Baca Juga
Advertisement
Maksudnya, komponen-komponen dari yang kecil hingga yang besar dibuat di dalam negeri, lalu kemudian ia disentralisasi oleh pabrikan untuk menciptakan kendaraan utuh.
Menurut Warih, yang terjadi saat ini belum lokalisasi sepenuhnya. Yang ada adalah komponen dibuat di dalam negeri, tapi bahan mentahnya seperti baja masih impor.
"Jadi harusnya itu true localization. Bahan mentahnya juga dari sini. Kalau mau kalahkan Thailand, harus cepat-cepat membangun ini. Jadi lokal bener, bukan lokal-lokalan," terang Warih, dalam acara "Seabad Industri Otomotif Indonesia" yang digelar Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) di Jakarta, Selasa (28/8/2017).
Ada sejumlah keuntungan yang dapat diperoleh dengan cara ini. Selain menggerakkan ekonomi dalam negeri, hal ini juga dapat mengantisipasi kerentanan yang disebabkan karena kondisi ekonomi global yang kadang tidak stabil.
"Kalau raw material impor, begitu rupiah melemah akan sulit karena harganya akan melambung," tambah orang lokal pertama yang menduduki pucuk pimpinan Toyota ini.
Dengan strategi ini, harapannya rasio kepemilikan mobil meningkat. Naik sedikit saja, maka pasarnya akan berkembang sangat besar.
Sebagai gambaran, kalau rasionya naik seperti di Thailand (200 per 1.000), maka penjualan mobil akan menjadi lebih dari dua juta unit per tahun.
Pengembangan Industri Otomotif Tak Bisa Lagi seperti Zaman Orba
Kebijakan industri Orde Baru (Orba) ditandai dengan sejumlah proteksi terhadap pengusaha dalam negeri, termasuk di sektor otomotif. Yang paling menonjol tentu saja mobil Timor, yang digawangi oleh anak Suharto, Tommy.
Namun, saat ini kebijakan proteksionis tersebut tidak bisa lagi dilakukan. Hal ini jadi salah satu topik dalam diskusi yang bertajuk "Seabad Industri Otomotif Indonesia" yang digelar Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) di Jakarta, Selasa (28/8/2017).
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronik Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Suryawirawan mengatakan, proteksi seperti pembatasan impor sudah tidak bisa lagi dilakukan. Kesempatan yang sama harus diberikan kepada siapa pun.
Yang dapat dilakukan saat ini, ujar Putu, adalah bagaimana industri lokal mampu bersaing dengan pasar internasional. Sementara untuk menciptakan rantai industri lokal yang kuat, butuh volume permintaan yang besar.
"Kalau dulu pakai regulasi yang sifatnya proteksi. Zaman Suharto masih bisa. Tapi sekarang sudah tidak mungkin diikuti. Bisa dituntut setengah mati kalau buat regulasi tidak transparan," terangnya di hadapan sejumlah pihak, termasuk dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia.
Advertisement