Liputan6.com, Jakarta - Layu sebelum berkembang, mungkin peribahasa itu yang paling tepat menggambarkan kisah mobil nasional. Di tengah gempuran mobil-mobil merek Jepang, proyek yang telah diinisiasi sejak 1990-an ini tidak pernah benar-benar terealisasikan.
Timor, yang digawangi Tommy Soeharto, adalah proyek paling prestisius sepanjang sejarah. Meski telah dapat sejumlah proteksi dari pemerintah, namun ia gagal. Tidak bisa melewati krisis 1997-1998. Ada pula yang paling baru Esemka, yang sampai saat ini tidak jelas bagaimana kelanjutannya.
Kalau bicara mobil nasional, yang selalu dirujuk adalah Proton, asal Malaysia. Didirikan pada 1983, awalnya Proton menggunakan teknologi milik Mitsubishi, tapi kemudian sukses mengembangkan teknologinya sendiri. Bahkan mereka bisa ekspor ke Indonesia.
Meski terbilang gagal, namun wacana soal mobil nasional tidak pernah surut. Beberapa pihak menyambungkannya dengan sentimen nasionalisme. Bahwa untuk menjadi bangsa yang besar dan disegani, harus punya merek mobil sendiri. Buatan sendiri.
Baca Juga
Advertisement
Tapi pejabat yang ada sekarang tidak sepakat dengan itu. Mobil nasional sudah jadi gagasan yang usang.
Setidaknya itu anggapan dari I Gusti Putu Suryawirawan, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian. Putu bilang kalau Proton sekalipun, yang kerap dijadikan rujukan, akhirnya gagal.
"Kita mau buat seperti Malaysia? Apa Proton berhasil? Berapa itu kerugian yang ditanggung perusahaan," terangnya dalam acara "Seabad Industri Otomotif Indonesia" yang digelar Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) di Jakarta, Selasa (28/8/2017) kemarin.
Proton memang mengalami masalah keuangan yang cukup akut dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini terutama karena mereka tidak bisa berbuat banyak dalam hal penjualan, baik di dalam negeri ataupun luar negeri.
Tahun 2015 misalnya, mereka hanya berhasil menjual 102 ribu unit mobil. Padahal kapasitas produksinya mencapai angka 400 ribu unit per bulan. Pihak pemerintah Malaysia sendiri cukup banyak membantu. Namun niat baik itu tidak dapat membantu Proton terlalu banyak.
Sebagai gantinya, Putu menawarkan konsep kemandirian komponen. Maksudnya, alih-alih membuat kendaraan ala Proton atau Timor, Putu menilai yang dapat dilakukan adalah menciptakan iklim yang sehat agar industri komponen bisa bersaing dengan pasar luar negeri.
"Jadi dengan itu industri komponen kita bisa tumbuh. Ada lokalisasi, penyerapan tenaga kerja. Ini fokus kami. Menciptakan lebih banyak OEM. Tier 1-3 dan workshop di seluruh Indonesia. Ini kepentingan kami. Menciptakan lebih banyak orang bekerja di industri ini," tutup Putu.
Simak Juga Video Menarik Berikut Ini:
Tidak bisa seperti zaman Orde Baru
Di kesempatan yang sama, Putu menilai bahwa mobil nasional tidak lagi relevan karena pemerintah tidak bisa lagi memberikan proteksi seperti zaman Orde Baru.
Proteksi seperti pembatasan impor sudah tidak bisa lagi dilakukan. Kesempatan yang sama harus diberikan kepada siapa pun.
"Kalau dulu pakai regulasi yang sifatnya proteksi. Zaman Suharto masih bisa. Tapi sekarang sudah tidak mungkin diikuti. Bisa dituntut setengah mati kalau buat regulasi tidak transparan," terangnya dihadapan sejumlah pihak, termasuk dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia.
Selain itu, proteksi seperti itu juga melanggar prinsip perdagangan bebas yang diinisiasi World Trade Organization (WTO).
Timor pernah diadukan ke WTO oleh Jepang karena sejumlah keistimewaan yang didapat, seperti bebas pajak barang mewah, dan bebas bea masuk barang impor.
Advertisement