Liputan6.com, Massachusetts - Kata sebagian besar kalangan, jika Korea Utara benar-benar akan menggunakan hulu ledak nuklir untuk menyerang negara lain, tindakan itu akan menjadi aksi bunuh diri bagi negara yang dipimpin oleh Kim Jong-un tersebut.
Mengapa?
Bayangkan, Korut menyerang negara sekaliber Amerika Serikat yang memiliki sumber daya militer yang mumpuni. Apa lagi data mencatat, AS merupakan salah satu negara yang memiliki hulu ledak nuklir terbanyak di dunia.
Namun, para pegiat teori deterensi (detterence theory) dalam konteks perang berhipotesis, jika Korut benar-benar menyulut konflik nuklir, negara yang dipimpin oleh Kim Jong-un itu dapat bertahan -- dan mungkin -- memenangkannya.
Karena, sejak sedari awal mereka melakukan pengembangan persenjataan rudal hingga uji coba misil teranyar, semua yang dilakukan oleh Pyongyang merupakan sebuah aksi strategis terkalkulasi serta dapat memberikan keuntungan politik dan militer bagi Korut. Demikian seperti dilansir dari New Zaeland Herald, Rabu (30/8/2017).
Baca Juga
Advertisement
Peluncuran rudal 29 Agustus lalu merupakan salah satu bukti yang relevan hipotesis di atas.
"Seluruh alasan Korut mengembangkan rudal lintas benua adalah untuk menggentarkan AS, supaya Negeri Paman Sam tak melakukan penyerangan kepada Korut," jelas Vipin Narang, profesor ilmu politik dan pakar strategi nuklir untuk Massachusets Institute of Technology (MIT).
Sepanjang Agustus ini, Korea Utara telah mengimbau bahwa mereka akan menggunakan hulu ledak balistiknya ke negara yang berpotensi menjadi ancaman.
Salah satu contoh misalnya, ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump melontarkan retorika bernuansa ancaman kepada Korut. Lewat sebuah pernyataan lisan, presiden ke-45 AS itu menyatakan akan membawa 'ledakan amarah' (fire and fury) kepada Korea Utara'.
Bak gayung bersambut, retorika agresif yang disampaikan oleh Presiden Trump justru menuai respons dari Korea Utara yang juga tak kalah mengejutkan. Pada pekan yang sama, lewat media corong pemerintah, KCNA, negara yang dipimpin oleh Kim Jong-un itu menyatakan niat untuk menyerang teritorial AS di Guam, Pasifik sebagai target uji coba peluncuran rudal.
Saling lempar retorika itu berujung dengan peluncuran rudal teranyar yang dilakukan oleh Pyongyang pada 29 Agustus lalu. Misil itu melintas di atas wilayah udara Jepang dan jatuh di Laut Timur Negeri Sakura.
Kapabilitas yang ditunjukkan rudal itu membuat cemas Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat, menunjukkan bahwa misil Korea Utara telah mampu menjangkau teritorial tiga negara tersebut.
Korut Menyerang Sekaligus Bertahan
Kapabilitas rudal teranyar Korut yang ditunjukkan pada tes 29 Agustus lalu dapat menjadi kunci yang mungkin membuat Korea Utara mampu bertahan dari potensi serangan dari Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat --masing-masing memiliki pangkalan militer yang dekat dengan teritorial Pyongyang.
Karena, rudal jarak jauh --selain digunakan untuk menyerang-- dapat menjadi lapisan pertahanan krusial bagi Korea Utara.
"Jika Korut dapat membuat sejumlah kota di AS terus berada di bawah ancaman jangkauan rudal, maka segala kalkulasi kebijakan yang dilakukan AS terhadap Korut akan terus berubah," ujar Profesor Narang.
"Apakah kita (AS) siap menerima risiko kehancuran Los Angeles atau Chicago jika sewaktu-waktu AS menyerang Korut? Mungkin tidak," tambahnya.
Ditambah lagi dengan adanya konsep skenario MAD (Mutual Assured Destruction), sebuah doktrin strategi militer dan kebijakan keamanan nasional yang menyatakan bahwa penggunaan senjata penghancur massal berskala besar (seperti nuklir) oleh dua pihak yang bertentangan atau lebih, akan mengakibatkan kehancuran total bagi seluruh pihak yang terlibat.
Skenario tersebut, didasari pada konsep 'an eye for an eye' atau 'mata dibalas mata' teori deterensi (penggentarjeraan) menyatakan, setiap negara pemilik hulu ledak nuklir tidak akan menyerang satu sama lain, karena masing-masing akan membalas menggunakan persenjataan serupa.
Hal itu pula yang kemungkinan besar membuat negara pemilik hulu ledak nuklir mumpuni, seperti AS, menahan diri untuk menyerang Korut.
Namun pada saat yang sama, Kim Jong-un terus memproduksi rudal dan hulu ledak nuklir setiap tahunnya, yang kemungkinan besar merupakan sebuah kemenangan bagi Korea Utara.
Meski Korea Utara nampak semakin menambah jumlah hulu ledak nuklirnya, tujuan sesungguhnya dari Kim Jong-un yang terus merakit sebanyak mungkin misil, hingga kini masih ambigu. Tes teranyar 29 Agustus lalu misalnya, tak jelas apakah didasari atas motif arogansi atau preventif, guna menghalau potensi serangan dari AS Cs.
Selain itu, ancaman yang dilontarkan Presiden AS Donald Trump --yang menjanjikan 'api dan amarah'-- tanpa konsekuensi nyata, hanya semakin menambah keruh kondisi ambigu pada tensi tinggi di Semenanjung Korea. Akan tetapi, jika memang Trump sesungguhnya sengaja hanya melontarkan retorika, menakut-nakuti Korut dengan ancaman serangan yang dilakukan oleh AS, hal itu nampaknya tidak berhasil.
Karena buktinya, Pyongyang kembali meluncurkan misil untuk yang ke-21 kalinya pada 29 Agustus lalu, tak mengindahkan segala ancaman yang telah berkali-kali diutarakan Trump.
"Pada titik tertentu itu semua akan menjada irelevan dan tidak koheren," ujar Profesor Narang.
Simak pula video berikut ini
Advertisement