Liputan6.com, New York - Krisis kemanusian di Myanmar mulai menjadi perhatian serius Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres.
Pria Portugal tersebut mengatakan, adanya laporan mengenai tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas Muslim Rohingya yang seharusnya tidak terjadi.
Dia pun menyerukan semua pihak untuk menahan diri agar tidak terjadi krisis kemanusian besar di negara itu.
"Kami saat prihatin dengan laporan mengenai operasi keamanan yang dilakukan aparat keamanan Myanmar di Rakhine," ucap Guterres seperti dikutip dari Al Jazeera, Sabtu (2/9/2017).
Baca Juga
Advertisement
"Saya mendesak semua pihak untuk menahan diri dan tenang agar tidak terjadi krisis kemanusian," ucap dia.
Terkait soal penyediaan jaminan keamanan dan perizinan masuknya bantuan, seharusnya hal tersebut bisa dijamin negara.
Dewan Keamanan PBB telah melakukan pertemuan tertutup untuk membahas masalah Rohingya pada Rabu lalu. Namun, tidak ada pernyataan resmi yang dikeluarkan usai pertemuan.
Pangkal Masalah Rohingya
Dari beberapa literatur, Rohingya disebut telah berdiam di Rakhine sejak abad ke-7, walau sebagian literatur lainnya menyebut sejak abad ke-16. Nenek moyang Rohingya merupakan campuran dari Arab, Turki, Persia, Afghanistan, Bengali, dan Indi-Mongoloid.
Populasi mereka di Rakhine mencapai lebih dari 1 juta jiwa. Sebagian besar hidup di Kota Maungdaw dan Buthidaung di man mereka di sana adalah mayoritas.
Pemerintah Myanmar mengklaim bahwa Rohingya tidak memenuhi syarat untuk mendapat kewarganegaraan di bawah UU Kewarganegaraan yang disusun militer pada 1982.
Dokumen tersebut mendefinisikan bahwa warga negara adalah kelompok etnik yang secara permanen telah menetap dalam batas-batas modern Myanmar sebelum tahun 1823. Itu adalah tahun sebelum perang pertama antara Inggris-Myanmar.
Pemerintahan Jenderal Ne Win memasukkan 135 kelompok etnik yang telah memenuhi persyaratan. Dan daftar inilah yang masih digunakan pemerintah sipil Myanmar hingga saat ini.
Pemerintah kolonial Inggris disebut-sebut merupakan pihak yang mendorong migrasi Rohingya ke Myanmar. Ini yang memicu kebencian di dalam negeri, sehingga digunakanlah tahun 1823 sebagai acuan untuk menentukan kewarganegaraan.
Cerita yang dominan berkembang di dalam negeri Myanmar adalah Rohingya merupakan pendatang baru. Warga muslim itu dikabarkan keturunan imigran dari Bangladesh pada era kolonial.
Namun menurut Gregory B. Poling, belakangan kisah ini terbukti palsu.
Pada 1799, seorang ahli bedah bernama Francis Buchanan bersama-sama British East India berpergian ke Myanmar dan bertemu dengan warga muslim yang telah lama menetap di Rakhine. Mereka menyebut dirinya sebagai Rooinga atau penduduk asli Arakan.
Dengan demikian, warga muslim Rohingya sudah hidup di Rakhine setidaknya 25 tahun sebelum 1823.
Bahkan, meski nama Rohingya terlalu tabu untuk diterima di Myanmar, sejarah menginformasikan secara jelas bahwa kelompok etnik itu sendiri telah berada di Rakhine sejak berabad-abad silam.
Sebuah populasi muslim yang signifikan disebut telah hidup di Kerajaan Mrauk-U yang memerintah Rakhine dari pertengahan abad ke-15 hingga akhir abad ke-18. Tak hanya itu, raja-raja Buddha dari Mrauk-U bahkan menghormati umat muslim.
Menurut Poling, bukti tersebut menunjukkan bahwa komunitas muslim itulah yang menjadi asal muasal Rohingya saat ini.
Kelompok ini lantas berasimilasi dengan gelombang imigran dari Bangladesh selama dan setelah era jajahan Inggris.
Advertisement