Situs Sunda Wiwitan Cigugur Perlahan Beralih Fungsi

Banyaknya situs peninggalan Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, beralih fungsi terasa sejak ditetapkannya UU Pokok Agraria Tahun 1960.

oleh Panji Prayitno diperbarui 04 Sep 2017, 07:30 WIB
Perjuangan kaum Sunda Wiwitan di Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, mempertahankan tanah leluhur sudah berlangsung sejak lama. (Liputan6.com/Panji Prayitno)

Liputan6.com, Kuningan - Perjuangan kaum Sunda Wiwitan di Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, mempertahankan tanah leluhur sudah berlangsung sejak lama. Namun, sejumlah situs yang merupakan peninggalan leluhur Sunda Wiwitan Cigugur banyak berubah dan beralih fungsi.

Girang Pangaping Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan Cigugur, Oki Satria, mengakui bahwa banyaknya situs peninggalan Sunda Wiwitan beralih fungsi terasa sejak ditetapkannya Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960.

Satu di antaranya Curug Goong. Dia mengatakan, perjuangan kaum Sunda Wiwitan untuk mengambil kembali Curug Goong tidak mudah. Sejak tahun 2000, kaum Sunda Wiwitan Cigugur rela patungan hanya untuk membeli kembali situs warisan leluhur mereka dari pemerintah.

"Curug Goong baru bisa kami beli satu hektare dari total tiga hektare, kami lima sampai empat kali beli. Membutuhkan proses sampai 6-8 tahun dan sampai sekarang harus kami miliki kembali," ucap Oki Satria kepada Liputan6.com, belum lama ini.  

Dia menjelaskan, satu hektare lahan di kawasan Curug Goong tersebut dibeli untuk dikembalikan lagi kepada masyarakat adat. Padahal, Curug Goong merupakan salah satu situs yang menjadi bagian dari aktivitas para leluhur Sunda Wiwitan.

Selain Curug Goong, adalah Situ Hiyang. Situs yang biasa dijadikan tempat upacara dan ritual adat karuhun tersebut kini berubah fungsi menjadi Taman Mayasih oleh pemerintah daerah setempat. Padahal, situs tersebut merupakan salah satu situs yang angker dan tidak banyak ditempati masyarakat adat.

"Belakangan saya lihat malah banyak dijadikan tempat mesum oleh pengunjung, ini menyakitkan sekali," ujar dia.

Dia menjelaskan, kawasan tersebut menjadi situs Sunda Wiwitan karena di Cigugur ada wilayah di atas terdapat mata air yang fungsinya sebagai daerah tangkapan air. Bila tangkapan air berubah fungsi, maka kemampuan serapan airnya akan hilang.




Situs Larangan

Perjuangan kaum Sunda Wiwitan di Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, mempertahankan tanah leluhur sudah berlangsung sejak lama. (Liputan6.com/Panji Prayitno)

Oki Satria menambahkan, kaum Sunda Wiwitan Cigugur memiliki situs masyarakat yang dianggap terlarang bernama Leweung Leutik. Situs tersebut merupakan area terlarang, tapi tidak dikelola baik oleh pemerintah daerah setempat.

"Dalam anatomi tubuh manusia pasti ada daerah terlarang. Jika tidak dijaga dan dikelola baik, maka hasilnya pun tidak baik," tutur dia.

Adapun situs di kawasan Ciniru, Kabupaten Kuningan, terdapat Leweung Kuta Siliwangi yang sudah dihancurkan. Akibatnya, sebanyak 14 desa rusak dan kehilangan panutan mengenai tata kelola desa dari leluhur adat.

"Bahkan sekarang binatang seperti monyet, babi hutan, dan lain-lain merusak rumah dan sawah warga. Sama juga seperti di wilayah Cigugur sebelah atas," ujarnya.

Kini, situs-situs tersebut sudah tidak bisa dikelola semua oleh kaum Sunda Wiwitan Cigugur. "Kalau jumlah total, kami belum mendata semua. Karena itu kan warisan leluhur untuk warga Kuningan, kita hanya menjaganya," kata dia.

Padahal, beberapa situs yang beralih fungsi, memiliki manfaat untuk pengobatan. Seperti di salah satu hutan kawasan Cigugur, yang memilik keanekaragaman hayati baik.

Dahulu, di hutan tersebut menjadi tempat kaum Sunda Wiwitan untuk memetik hasil sebagai sebagai syarat pelaksanaan upacara Seren Taun. Namun, kata dia, manfaat lain, yakni hasil alam yang ada di kawasan hutan adat Cigugur adalah untuk pengobatan.

"Kami juga mengajak juru kunci di situs Gunung Ciremai untuk sama-sama menjaga warisan leluhur, meskipun tidak di kawasan tanah adat," Okan Satria memungkasi.



Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya