Liputan6.com, London - Serangan militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) terhadap aparat keamanan Myanmar pada 25 Agustus 2017 berbuntut persekusi pada warga Rohingya. Ratusan orang tewas, lebih dari 60 ribu etnis minoritas tersebut berusaha lari ke perbatasan Bangladesh.
Apa yang terjadi di negara yang baru lepas dari junta militer itu menjadi perhatian dunia. Pemenang Nobel Perdamaian, Malala Yousafzai, meminta Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, ikut mengutuk "perlakuan tragis dan memalukan" terhadap warga Rohingnya.
"Selama beberapa tahun terakhir, saya terus mengutuk perlakuan tragis dan memalukan ini. Saya masih menunggu sesama pemenang Nobel, Aung San Suu Kyi, untuk melakukan hal serupa. Dunia, juga muslim Rohingya menantinya," kata Malala dalam akun pribadinya @Malala, 3 September 2017.
Aktivis asal Pakistan tersebut mengaku, hatinya ikut terluka saat mendengar penderitaan muslim Rohingya.
Baca Juga
Advertisement
"Hentikan kekerasan. Hari ini kita menyaksikan anak-anak kecil tewas akibat tindakan aparat keamanan Myanmar. Bocah-bocah itu tak menyerang siapa pun, tapi mengapa rumah mereka dibakar hingga binasa," tulis Malala.
"Jika Myanmar bukan rumah mereka, di mana mereka tinggal selama beberapa generasi, lalu di mana? Warga Rohingya harus diberikan kewarganegaraan Myanmar, negara di mana mereka dilahirkan."
Malala juga mengimbau negara-negara lain, khususnya Pakistan, dari mana ia berasal, memberikan bantuan pada warga Rohingya.
Seperti dikutip dari Guardian, Selasa (4/9/2017), hampir 400 orang tewas dalam konflik yang terjadi belakangan. Militer Myanmar pun menghadapi tuduhan telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pada Sabtu lalu, Menteri Luar Negeri Inggris, Boris Johnson juga menyampaikan pesan pada Aung San Suu Kyi.
"Aung San Suu Kyi dianggap salah satu figur paling inspiratif, namun perlakuan pada Rohingya telah menodai reputasi Myanmar," kata dia.
Johnson menambahkan, Aung San Suu Kyi tengah menghadapi tantangan besar dalam modernisasi negaranya yang baru lepas dari junta militer.
"Saya berharap saat ini dia bisa memanfaatkan semua kualitasnya yang luar biasa untuk menyatukan negaranya, untuk menghentikan kekerasan, dan untuk mengakhiri prasangka yang menimpa baik umat muslim maupun komunitas lainnya di Rakhine," kata dia.
Berdasarkan data Badan Pengungsi PBB, diperkirakan 73 ribu warga Rohingya telah melintasi perbatasan Bangladesh, sejak kekerasan meletup pada 25 Agustus 2017. Akibatnya, kamp-kamp pengungsi yang disiapkan dalam kondisi melampaui kapasitas.