Liputan6.com, Jakarta
Saat pertama kali melihatnya, wanita muda ini mirip mayat hidup: pucat, tidak bercahaya, pandangan matanya kosong, kurus dan lemah. Sempat saya bertanya kepadanya apakah dia pecandu alkohol atau pengguna obat-obatan terlarang. Jawabnya adalah tidak. “Saya bingung. Rasanya ingin mati…,” ungkapnya lirih.
Dia bingung karena ingin menceraikan suami ketiganya. Padahal, pria itu baik sekali dan sangat mencintainya, bahkan anak dari perkawinan pria itu dengan istri pertamanya juga sangat sayang kepadanya. “Tapi saya ingin cerai,” katanya. Dua suaminya terdahulu juga dia ceraikan, walau mereka semuanya juga sangat baik. Dorongan untuk bercerai itu begitu kuat pada wanita ini, hingga terjadi aneka macam peristiwa yang dapat menjadi alasan cukup untuk bercerai.
Advertisement
Hubungannya dengan sang ibu ternyata juga sangat buruk. Mereka selalu bertengkar bila berdekatan. Bahkan ayah tiri yang merawatnya sejak balita pun dia benci, walaupun, sekali lagi, “Bapak sabar, baik dan sayang banget sama saya,” katanya.
Jadi, semua orang di sekelilingnya baik, tapi dia membenci mereka. Itulah sebabnya dia bingung, merasa bersalah, sekaligus merasa tidak tahan dan ingin menyakiti mereka. Saking frustrasinya timbul pikiran mau mati saja.
Sumbernya di Kandungan Ibu
Gendis, sebutlah begitu wanita berusia 32 tahun ini, melalui proses hipnoterapi akhirnya menemukan jawaban mengapa dia mengalami semua itu. Dengan teknik regresi, ditemukan akar masalahnya ketika ia masih berusia 7 bulan dalam kandungan.
Pada saat hamil tua itulah, ayahnya kedapatan berselingkuh dengan wanita lain. Sang ibu yang begitu marah dan kecewa, memutuskan meninggalkan rumah lalu kembali ke kediaman orangtuanya. Hubungan dengan suami sejak itu terputus. Gendis lahir tanpa ayah kandungnya. Yang dia kenal sebagai ayah adalah ayah tiri, yang merawatnya sejak berusia tiga tahun.
Kemarahan Gendis terhadap sang ibu muncul sejak saat itu. “Gara-gara Mama aku enggak punya Papa,” ungkap Gendis yang balita. Namun sebaliknya, Gendis kecil juga sangat membenci ayahnya, karena, “Papa bikin Mama sedih dan suka nangis.” Gendis baru bertemu ayah kandungnya setelah dewasa, menjelang menikah yang pertama.
Bukan hanya itu, Gendis di dalam kandungan juga merekam perasaan ibunya saat ditinggal selingkuh suami. Kebencian terhadap suami, yang dialami Gendis, sesungguhnya merupakan kebencian sang Mama terhadap suaminya. Itu sebabnya Gendis bingung. Suaminya begitu baik dan mencintai, tapi dia merasakan benci. Perasaan benci yang terkopi dari ibunya itulah yang melatarbelakangi Gendis menceraikan dua suami sebelumnya.
Bagaimana dengan kebenciannya terhadap Bapak, ayah tiri yang merawatnya sejak balita? Gendis sebetulnya tidak membenci suami kedua ibunya itu. Kebenciannya terhadap sosok ayah (kandung) itulah yang terlampiaskan terhadap ayah tirinya.
Ketika sumber masalahnya ditemukan dan diselesaikan di level pikiran bawah sadar, maka Gendis dapat membebaskan diri dari semua emosi negatif yang terekam saat di dalam kandungan ibu. Akhirnya dia batal cerai dengan suami ketiganya, bahkan relasinya dengan anak tiri yang lebih pantas jadi adiknya itu pun semakin dekat. Hubungan dengan ibu kandung dan ayah tirinya ternyata juga menjadi baik.
Catatan
Apa yang dapat kita pelajari dari kasus Gendis ini?
• Janin di dalam kandungan ibu sudah memiliki memori. Janin dapat merasakan, mendengar, merekam dan mengopi perasaan ibunya. Riset secara medis menemukan memori pada usia kandungan 7-8 minggu, sementara di ruang praktek hipnoterapi ditemukan rekaman itu pada 0 minggu ketika kehidupan dimulai.
• Masalah pada kehidupan seseorang dapat bersumber dari rekaman memori dan emosi, ketika yang bersangkutan masih berada di dalam kandungan ibu. Itulah sebabnya nasihat bijak para leluhur kita adalah menjaga ucapan, sikap, dan perilaku ketika seorang wanita sedang mengandung.
• Janin di dalam rahim wajib dijaga dan dilindungi dari rekaman emosi dan peristiwa yang tidak menyenangkan oleh ayah maupun ibunya. Luka batin dapat timbul sejak masih di dalam kandungan.