106 Hari Pertempuran di Marawi, Bocah dan Perempuan Jadi Militan

Di kota yang kini jadi reruntuhan, pertempuran tentara dengan militan pro ISIS masih berlangsung. Bocah dan perempuan turut bantu teroris.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 05 Sep 2017, 16:03 WIB
Asap hitam membumbung tinggi ke udara usai militer pemerintah Filipina melancarkan serangan udara ke sebuah lokasi yang telah dikuasai oleh militan Maute di kota Marawi, Filipina Selatan, (27/5). (AP Photo / Bullit Marquez)

Liputan6.com, Marawi - Struktur sejumlah bangunan masih berdiri kokoh. Namun, tak jarang sebagian yang lain ambruk nyaris rata dengan tanah.

Pada bangunan yang masih berdiri, terlihat dindingnya berhias lubang peluru. Sementara, atapnya berlubang, bekas dihantam selongsong mortar serdadu.

Begitulah kondisi Kota Marawi, Lanao del Sur sekarang. Memasuki hari ke-106, pertempuran antara militer Filipina (AFP) dan kelompok pemberontak Maute yang didukung oleh militan pro-ISIS, masih terus berlangsung. Demikian seperti dikutip dari The New York Times, Selasa (5/9/2017).

Pihak AFP memperkirakan, hari-hari pertempuran di Marawi tetap akan bergulir, hingga setidaknya bulan depan.

"Diperkirakan Oktober 2017 selesai," jelas Kepala Staf AFP, Jenderal Eduardo M Ano, seperti dikutip dari Business Mirror.

Sementara Presiden Filipina Rodrigo Duterte terus memberlakukan status darurat militer di kota tepi Danau Mindanao itu hingga 31 Desember 2017.

Namun, bagi pasukan AFP yang bertempur di Marawi, hari hanyalah hari, tanggal sekadar tanggal. Dan perkiraan presiden serta para perwira tinggi militer di Malacanang, juga hanya sebatas perkiraan.

"Saya tidak dapat memastikan kapan kami bisa menyelesaikan semua ini," kata Brigjen Marinir Melquiades Ordiales kepada seorang jurnalis The New York Times. Di kejauhan terdengar suara letupan senapan dan ledakan mortar AFP.

Sementara di dekat Brigjen Ordiales berdiri, ada tumpukan puing-puing bangunan, tampak habis disapu oleh aparat setempat. Tujuannya, memudahkan jalan para media asing yang dikawal oleh AFP melintas dan melaksanakan tur jurnalistik di Kota Marawi.

Menurut laporan The New York Times, pertempuran di sana dinilai masih menegangkan. Terbaru, pada Kamis lalu, tiga pasukan Filipina tewas dan 52 orang lainnya terluka.

Jauh sebelum pertempuran di Marawi pecah, kota tersebut telah terkenal dengan sejumlah aktivitas membahayakan yang dilakukan oleh grup separatis, ekstremis, kelompok kriminal, dan terkadang, ketiganya secara bersamaan.

Salah satu dari kelompok itu adalah kelompok pemberontak Maute. Grup beranggotakan individu bersenjata sekitar 600 orang, plus individu tambahan dari Abu Sayyaf, serta personel tambahan yang merupakan kiriman dari ISIS di Irak dan Suriah itu menyulut pertempuran pada 23 Mei 2017.

Tujuan mereka adalah membentuk reputasi sebagai jaringan ISIS di Filipina dan Asia Tenggara. Mereka pun turut mendapatkan dana dari "komando pusat" di Irak dan Suriah serta militan tambahan dari sejumlah warga negara asing simpatisan, seperti Indonesia dan Malaysia.


Logistik Tersedia, Bocah dan Perempuan Ikut Jadi Militan

Meski Manila memprediksi hanya ada segelintir militan yang tersisa di Marawi, pertempuran di kota itu mungkin belum akan selesai dalam waktu dekat.

"Bahkan, pihak militan pun mungkin terkejut mampu mempertahankan pertempuran di sana untuk sekian lama," jelas Profesor Zachary Abuza dari National War College, Washington, Amerika Serikat.

Ada sejumlah faktor yang menjadi aspek krusial mengapa para militan mampu bertahan lama di Marawi.

Seperti dikutip dari The New York Times, tata letak kota yang bersekat-sekat serta padat bangunan menyulitkan militer untuk menggencarkan operasi serangan udara secara efektif. Selain itu, para militan memanfaatkan sejumlah bangunan, seperti masjid dan rumah warga, untuk menjadi basis komando.

Taktik menyandera warga sipil yang dilakukan oleh para militan juga ikut menghambat laju operasi tentara. Adapun mengenai pasokan makanan, menurut sejumlah pemberitaan yang telah lalu, militan memanfaatkan akses distribusi terselubung dari Danau Mindanao serta menjarah rumah warga sipil yang ditinggalkan.

Terkait sokongan personel, pihak AFP melaporkan bahwa sejumlah bocah dan perempuan turut membantu para militan untuk menyerang militer.

"Pasukan di lapangan melihat perempuan dan anak-anak menembaki serdadu AFP. Kemungkinan anak-anak dan perempuan itu merupakan anggota keluarga para militan. Itu mungkin jadi sebab mereka tidak kekurangan personel," jelas Letjen Carlito Galvez, seperti dikutip dari Asian Correspondent.

Sementara itu, sejumlah militan membentuk garis pertahanan di sejumlah titik kota, dengan menebar ranjau darat dan menempatkan penembak jitu, sehingga menyulitkan kelompok militer.

"Kami selalu menerka-nerka akan menerima gempuran hebat dari mereka. Korban militer akan terus berjatuhan dan musuh akan semakin tertekan," jelas Letjen Galvez.


Isu Pengungsi

Bak kota hantu, Marawi dan daerah sekitar yang dahulu berpopulasi lebih dari 300.000 jiwa itu, kini nyaris kosong tanpa kehadiran warga sipil. Sebagian besar telah melarikan diri atau dievakuasi, menjadi pengungsi di kota yang jauh dari Marawi.

Menurut perkiraan Palang Merah Internasional di Filipina, ada 300.000 warga sipil terdampak pertempuran yang kini berstatus sebagai pengungsi. Salah satu kamp pengungsi utama terletak di Kota Iligan (sekitar puluhan kilometer dari Marawi) dan beberapa lainnya berada di Provinsi Lanao del Norte (sekitar ratusan kilometer dari Marawi).

Kondisi di kamp pengungsian cukup memprihatinkan. Para warga ditempatkan di tenda dengan kapasitas tampung yang sempit dan ventilasi udara yang tidak memadai, minim pasokan makanan, serta kekurangan barang-barang kebutuhan dasar, seperti tempat tidur yang layak.

"Mereka (AFP) bilang bahwa kami di sini hanya untuk beberapa hari. Kami ingin kembali ke rumah, ke pekerjaan kami. Namun tampaknya, tidak ada yang tersisa di sana," jelas Esnimeh Dago, salah satu pengungsi.

 

Simak pula video berikut:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya