Liputan6.com, Jakarta - Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman mengambil sikap yang jelas terkait berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap ini dikukuhkan dalam amanat Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII pada 5 Maret 1945, tepat 72 tahun yang lalu.
Sebelumnya, sehari setelah proklamasi Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, Sultan HB IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim telegram ucapan selamat dan pernyataan dukungan terhadap Republik Indonesia.
Pernyataan tersebut kemudian disusul dengan maklumat resmi berisi pernyataan penggabungan diri Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alam dengan Indonesia.
Baca Juga
Advertisement
Dalam catatan kerabat Keraton Yogyakarta Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Prabukusumo, seperti dilansir Antara, pernyataan itu meneguhkan bahwa Yogyakarta merupakan wilayah pertama di NKRI. Saat itu, tidak ada satu kerajaan maupun negara-negara bentukan Belanda yang menyatakan bergabung dengan NKRI.
"Pernyataan bergabungnya Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman ke dalam NKRI memiliki nilai strategis yang luar biasa, karena saat itu meskipun Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya, namun kolonialis Belanda selalu menyatakan mana wilayahmu sebagai sebuah negara," katanya.
Dengan pernyataan bergabungnya wilayah Yogyakarta ke NKRI, Indonesia yang baru merdeka tersebut memiliki wilayah kedaulatan. Langkah ini pun kemudian diikuti wilayah-wilayah lain termasuk kerajaan-kerajaan di Nusantara yang dibentuk Belanda
"Ini merupakan pengorbanan luar biasa dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII yang sangat luar biasa, dari sebelumnya sebagai seorang penguasa penuh atas wilayah Yogyakarta, menjadi harus mengikuti aturan pemerintah NKRI," katanya.
Ia menambahkan pengorbanan yang tidak kalah pentingnya adalah ketika NKRI berdiri, maka harus mencetak Oeang/uang Republik Indonesia (ORI). Hal itu harus dibarengi adanya jaminan uang emas di Bank Indonesia.
"Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan ikhlas memberikan emas batangan milik Keraton Yogyakarta sebagai jaminan, dan sampai saat ini keluarga keraton tidak pernah mengungkit-ungkit serta meminta kembali," katanya.
Kemudian saat para pemimpin negara kesulitan menjalankan pemerintahan di Jakarta seiring aksi-aksi Belanda, pada Januari 1946 Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengundang para pemimpin Republik Indonesia untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Yogyakarta. Dengan menaiki kereta api yang berjalan dalam gelapnya malam, rombongan pembesar negara mengungsi ke Yogyakarta.
Atas usul Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Yogyakarta kemudian menjadi ibu kota republik. Selama berada di Yogyakarta, seluruh biaya operasional, akomodasi, hingga gaji pejabat negara Indonesia ditanggung sepenuhnya oleh Keraton Yogyakarta.
Isi Maklumat 5 September
Berikut salinan pernyataan dari Sultan HB IX dan Adipati Pakualam VIII pada 5 September 1945;
Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:
Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.
Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.
Ngajogjakarta Hadiningrat,
28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945
Kami Paku Alam VIII Kepala Negeri Paku Alaman, Negeri Ngajogjakarta
Hadiningrat menjatakan:
Bahwa Negeri Paku Alaman jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada di tangan Kami dan
kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnja.
Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Paku Alaman
mengindahkan Amanat Kami ini.
Paku Alaman, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945
Sejarah Yogyakarta, dari Mataram ke Indonesia
Pernyataan bergabung dengan Indonesia menjadi salah satu tonggak penting sejarah Keraton Yogyakarta. Dari sejarah keraton, seperti dikutip dari situs resmi Keraton Yogyakarta, kratonjogja.id, ada beberapa tonggak sejarah penting Keraton Yogyakarta.
Mataram, sebuah kerajaan Islam di Jawa bagian tengah-selatan aktif pada akhir abad ke-16. Pusatnya di daerah Kota Gede (sebelah tenggara kota Yogyakarta saat ini), kemudian pindah ke Kerta, Plered, Kartasura dan Surakarta.
Kedaulatan Mataram semakin terganggu dengan intervensi Belanda. Akibatnya, timbul gerakan anti-penjajah di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi yang mengobarkan perlawanan terhadap Belanda. Untuk mengakhiri perselisihan tersebut dicapai Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari.
Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada 13 Februari 1755 (Kemis Kliwon, 12 Rabingulakir 1680 TJ) menyatakan bahwa Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Surakarta dipimpin oleh Susuhunan Paku Buwono III, sementara Ngayogyakarta – atau lazim disebut Yogyakarta – dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I.
Perjanjian Giyanti ini kemudian diikuti pula dengan pertemuan antara Sultan Yogyakarta dengan Sunan Surakarta di Lebak, Jatisari pada 15 Februari 1755. Dalam pertemuan ini dibahas peletakan dasar kebudayaan bagi masing-masing kerajaan. Kesepakatan yang dikenal dengan nama Perjanjian Jatisari ini membahas tentang perbedaan identitas kedua wilayah yang sudah menjadi dua kerajaan yang berbeda.
Bahasan di dalam perjanjian ini meliputi tata cara berpakaian, adat istiadat, bahasa, gamelan, tari-tarian, dan lain-lain. Inti dari perjanjian ini: Sultan Hamengku Buwono I memilih untuk melanjutkan tradisi lama budaya Mataram. Sementara itu, Sunan Pakubuwono III sepakat untuk memberikan modifikasi atau menciptakan bentuk budaya baru. Pertemuan Jatisari menjadi titik awal perkembangan budaya yang berbeda antara Yogyakarta dan Surakarta.
Pada 13 Maret 1755, (Kemis Pon, 29 Jumadilawal 1680 TJ) proklamasi atau Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dikumandangkan. Selanjutnya, Sultan Hamengku Buwono I memulai pembangunan Keraton Yogyakarta pada 9 Oktober 1755.
Pada 20 Juni 1812, ketika Inggris berhasil menyerang dan memasuki keraton, Sultan Hamengku Buwono II dipaksa turun tahta. Penggantinya, Sri Sultan Hamengku Buwono III dipaksa menyerahkan sebagian wilayahnya untuk diberikan kepada Pangeran Notokusumo (putera Hamengku Buwono I) yang diangkat oleh Inggris sebagai Adipati Paku Alam I.
Wilayah kekuasaan Kasultanan yang diberikan kepada Paku Alam I meliputi sebagian kecil di dalam ibu kota negara dan sebagian besar di daerah Adikarto (Kulonprogo bagian selatan). Daerah ini bersifat otonom, dan dapat diwariskan kepada keturunan Pangeran Notokusumo. Sejak 17 Maret 1813, Adipati Paku Alam I mendeklarasikan berdirinya Kadipaten Pakualaman.
Perubahan berikutnya setelah lahirnya Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sri Sultan Hamengku Buwono IX segera mengucapkan selamat atas berdirinya republik baru tersebut kepada para proklamator kemerdekaan.
Dukungan terhadap republik semakin penuh ketika Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengeluarkan amanat pada 5 September 1945 yang menyatakan bahwa wilayahnya yang bersifat kerajaan adalah bagian dari Negara Republik Indonesia.
Menerima amanat tersebut maka Presiden pertama Republik Indonesia Sukarno menetapkan bahwa Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam merupakan dwi tunggal yang memegang kekuasaan atas Daerah Istimewa Yogyakarta. Status keistimewaan tersebut semakin kuat setelah disahkannya Undang-Undang nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.
Advertisement