Aung San Suu Kyi: Kami Bekerja Melindungi Hak Warga Myanmar

Kepada Presiden Recep Tayyip Erdogan, Aung San Suu Kyi menegaskan pemerintah Myanmar bekerja untuk melindungi seluruh hak warga Myanmar.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 06 Sep 2017, 13:18 WIB
Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi berjabat tangan dengan Menlu Myanmar dan State Counsellor Daw, Aung San Suu Kyi seusai melakukan pertemuan di Kantor Kepresidenan, Nay Pyi Taw, ibu kota Naypyidaw, Senin (4/9). (Myanmar Foreign Ministry via AP)

Liputan6.com, Naypyidaw - Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi membuat pernyataan publik pertama terkait krisis Rohingya terbaru yang pecah nyaris dua pekan lalu. Perempuan berusia 72 tahun tersebut mengatakan bahwa pemerintahannya bekerja untuk melindungi seluruh hak warga warga Myanmar.

Hal tersebut disampaikan Suu Kyi dalam pembicaraannya melalui sambungan telepon dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

"Kami tahu betul, lebih tahu dari kebanyakan orang, apa artinya pencabutan HAM dan perlindungan demokrasi," ujar Suu Kyi melalui transkrip telepon yang beredar, seperti dikutip dari CNN pada Rabu (6/9/2017).

"Jadi kami memastikan bahwa semua orang di negara kami berhak mendapat perlindungan atas hak-hak mereka, bukan hanya politik, tapi juga sosial dan kemanusiaan," imbuhnya.

Selama ini, Suu Kyi mendapat kecaman karena sosoknya dianggap berdiam diri atas penindasan terhadap warga Rohingya. Padahal, Suu Kyi dikenal sebagai aktivis HAM peraih Nobel Perdamaian.

Dalam pembicaraannya dengan Presiden Erdogan, Suu Kyi juga menyampaikan bahwa banyak informasi keliru yang tersebar dan menguntungkan pihak teroris -- merujuk pada kelompok militan Rohingya.

Putri dari mendiang Jenderal Aung San itu menegaskan bahwa pemerintahannya bekerja keras untuk memastikan bahwa terorisme tidak menyebar ke seluruh Rakhine.

Sementara itu, setidaknya 123 ribu pengungsi Rohingya dikabarkan telah melintasi perbatasan Bangladesh dalam waktu dua pekan terakhir. Kekerasan di Rakhine meningkat setelah terjadinya serangan terkoordinasi terhadap sejumlah pos perbatasan yang diklaim oleh pemerintah dilakukan oleh "teroris".


Bantuan Internasional

Pasca-pembicaraan via telepon antara Presiden Erdogan dan Suu Kyi, Juru Bicara Kepresidenan Turki Ibrahim Kalin mengumumkan bahwa Badan Kerja Sama dan Koordinasi Turki (TIKA) akan diizinkan untuk mengirimkan 1.000 ton bantuan ke Rakhine.

"Bantuan tersebut akan dikirim ke daerah Maungtaw dan Buthi Taung di utara Rakhine untuk disalurkan kepada ratusan keluarga yang mengungsi," kata Kalin.

"Tahap pertama bantuan akan disalurkan kepada warga Rohingya yang melarikan diri ke daerah pegunungan. Bantuan yang akan diberikan termasuk nasi dan ikan, juga pakaian," imbuhnya.

Kalin menambahkan, dengan alasan keamanan, bantuan akan dikirimkan melalui helikopter militer yang bekerja sama dengan otoritas Rakhine.

Turki bukan satu-satunya yang mengirim bantuan ke Rakhine. Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri RI juga menyampaikan bantuan kemanusiaan senilai US$ 2 juta yang berasal dari donasi masyarakat.

Bantuan tersebut akan disalurkan melalui program-program sosial selama dua tahun dengan empat fokus, yakni pendidikan, kesehatan, mata pencaharian, dan pemulihan pascakonflik.

Hingga saat ini, Indonesia telah membangun empat sekolah senilai US$ 1 juta di Rakhine yang diresmikan pada 2014, menyalurkan 10 kontainer makanan dan pakaian pada Desember 2016, serta meresmikan dua sekolah lainnya pada Januari 2017.

Indonesia juga akan membangun sebuah rumah sakit di Rakhine yang diinisiasi oleh Medical Emergency Rescue Committee (Mer-C), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI), dan Lembaga Kemanusiaan Nasional PKPU.

Menurut Menlu Retno Marsudi, proses perizinan dan rancang bangun rumah sakit Indonesia itu telah rampung sehingga pembangunannya dapat segera dilaksanakan pada Oktober 2017.

Seiring dengan meningkatnya kekerasan di Rakhine, sejumlah negara menunjukkan sikap mereka.

Respons cepat diambil oleh Indonesia. Presiden Joko Widodo dengan segera mengutus Menlu Retno untuk mendatangi Myanmar dan Bangladesh demi menemukan solusi untuk menghentikan konflik.

Menteri Luar Negeri Pakistan Khawaja Muhammad Asif menyatakan kesedihan mendalam atas kekerasan yang terus berlanjut. Perdana Menteri India Narendra Modi dijadwalkan mengadakan pembicaraan dengan Suu Kyi ketika mengadakan kunjungan kenegaraan ke Myanmar pada Rabu waktu setempat.

Sekjen PBB Antonio Guterres melalui pernyataan yang dikeluarkan pada Selasa mengutuk keras kekerasan terhadap warga Rohingya. Ia mengatakan sangat prihatin dengan situasi keamanan, kemanusiaan, dan HAM di Rakhine.

 

Saksikan video berikut:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya