Liputan6.com, Rakhine - Hanya dalam hitungan hari, sekitar 164.000 Muslim Rohingya lari dari kampung halaman yang kini tinggal puing dan jelaga. Dibayang-bayangi ketakutan, mereka berjalan kaki, menahan haus dan lapar, demi mencari selamat ke perbatasan negeri tetangga Bangladesh.
Mereka mengaku, militer Myanmar dan militan pendukungnya menghancurkan dan menebar maut ke desa-desa, untuk menuntut balas atas serangan kelompok Rohingya Salvation Army (ARSA) ke sejumlah pos polisi yang menewaskan 12 orang. Sejumlah pengungsi menunjukkan bekas luka tembak yang diaku sebagai bukti.
Baca Juga
Advertisement
Namun, pihak pemerintah membantahnya. Militer menuding militan dan penduduk Muslim Rohingya sengaja membakar desa-desa mereka sendiri. Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, bahkan menyalahkan ulah "teroris" yang menyebarkan kabar palsu ke seluruh dunia, "mendramatisasi" situasi sesungguhnya di negerinya.
Sama sekali tak mudah untuk mengonfirmasi, klaim mana yang benar. Apalagi, akses masuk ke negara bagian Rakhine yang bergejolak ditutup rapat-rapat.
Belakangan, pemerintah Myanmar mengundang sejumlah jurnalis untuk menyaksikan situasi di lapangan di Maungdaw secara langsung. Para pewarta pergi secara berkelompok dengan pengawalan ketat para tentara ke lokasi-lokasi yang telah ditunjuk militer.
Mereka dilarang pergi secara independen. Militer mengatakan, situasi masih berbahaya dan nyawa bisa-bisa jadi taruhannya. Koresponden BBC di Asia Tenggara, Jonathan Head, ikut dalam kunjungan tersebut. Kepada para jurnalis, aparat mengatakan, penduduk Muslim membakar rumah mereka sendiri.
Namun, menurut Head, asap yang masih membumbung di Kota Al Le Than Kyaw, selatan Maungdaw, menunjukkan hal berbeda. Rumah-rumah itu baru saja dibakar.
"Dalam perjalanan kembali, kami melihat kolom asap yang membumbung di klaster pepohonan di tengah sawah, yang biasanya jadi pertanda keberadaan permukiman," kata Head.
Para wartawan pun keluar dari kendaraan dan berlari menyeberang sawah untuk mendekatinya. "Kami melihat bangunan yang dikepung api. Rumah-rumah di sana terbakar hingga jadi abu dalam 20-30 menit. Jelas, api belum lama disulut."
Kesaksian wartawan memperkuat laporan Human Rights Watch yang mengatakan, citra satelit mengonfirmasi adanya pembakaran yang terjadi di beberapa titik di Rakhine.
Siapa yang Membakar Desa Rohingya?
Siapa sebenarnya pelaku pembakaran desa-desa Rohingya belum terang. Namun, sejumlah wartawan yang diundang pemerintah Myanmar menemukan sebuah bukti.
Di Al Le Than Kyaw, Jonathan Head mengaku tak menemukan seorang pun etnis Rohingya.
"Kami melihat sekelompok pemuda berotot kekar, membawa parang, pedang, ketapel. Kami mencoba melakukan wawancara, namun mereka menolak direkam," kata Head.
Seorang koleganya asal Myanmar akhirnya berhasil mengajak mereka bicara tanpa kamera. Para pemuda itu mengaku sebagai militan. Salah satunya mengklaim menyulut kebakaran dengan bantuan polisi.
Hampir semua bangunan di desa itu, beserta mobil dan sepeda motor, habis dibakar. Sebuah masjid juga tampak habis dirusak.
Kala itu, tak terlihat kehadiran aparat keamanan Myanmar, selain yang bertugas menjadi pengawal rombongan jurnalis.
Saat ditemui, petugas polisi setempat, Aung Kyaw Moe, mengatakan kebakaran itu terjadi sejak 25 Agustus 2017, meski faktanya ada beberapa titik api yang terus menyala hingga hari Kamis, 8 September.
"Mereka membakar rumah mereka sendiri dan melarikan diri," kata Aung Kyaw Moe.
"Kami tidak melihat siapa yang sesungguhnya membakarnya karena kami harus menjaga keamanan pos kami. Tapi saat rumah-rumah dibakar, orang-orang Bengali adalah satu-satunya yang ada di desa ini," ujarnya. Pemerintah dan aparat Myanmar menyebut etnis Rohingya sebagai Bengali.
Sementara, Time menuliskan, di desa lain yang juga terbakar, para jurnalis mengaku melihat seorang warga sipil muncul dari balik kepulan asap.
Ketika diwawancara oleh media, warga itu menyebut bahwa militer Myanmar dan militan merupakan pelaku pembakaran.
Namun, ketika hendak diwawancarai lebih detail, warga sipil itu kemudian melarikan diri.
Pemerintah pusat Myanmar membantah seluruh laporan media asing yang menyebut mengenai persekusi dan kondisi memprihatinkan yang dialami etnis Rohingya.
Naypydaw menyebut krisis yang terjadi di Rakhine mengalami distorsi informasi dan pemberitaan yang "tidak lengkap", dipromosikan oleh media palsu "fake news", demi keuntungan teroris.
Teroris adalah cara pemerintahan Aung San Suu Kyi dan militer Myanmar menyebut kelompok ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army) di Rakhine.
Saksikan video pilihan berikut ini
Advertisement