Liputan6.com, Jakarta - Air minum yang dikonsumsi di lima benua -- mulai dari Trump Tower di New York hingga ke fasilitas air minum umum di pinggiran-pinggiran Danau Victoria di Uganda -- ternyata mengandung serpihan kecil plastik yang mengancam kesehatan masyarakat. Demikian menurut para peneliti hari Rabu 6 September 2017.
Plastik akan hancur menjadi partikel-partikel kecil yang dikenal dengan microplastics, yang ditemukan di 83 persen sampel yang dikumpulkan dari Jerman, Kuba hingga Lebanon dan dianalisa oleh Orb Media, organisasi berita digital bermarkas di Amerika Serikat.
Advertisement
"Bila anda bertanya kepada orang-orang apakah mereka mau makan atau minum plastik, mereka akan menjawab 'Tidak, itu pertanyaan bodoh'," kata Sherri Mason, salah satu penulis dari kajian tersebut dan profesor kimia di State University of New York seperti dikutip dari VOA News, Sabtu (9/9/2017).
"Itu mungkin sesuatu yang tidak mau kita cerna, tapi ternyata kita melakukannya apakah dari air minum, dari bir, jus. Ini ada di makanan kita, garam laut, kerang-kerang. Tidak ada seorang pun yang aman," tutur Mason.
"Microplastics dengan ukuran sampai 5 milimeter juga terdapat dalam air kemasan botol," katanya.
Dampak kesehatan dari mencerna plastik hingga kini masih belum jelas, namun sejumlah kajian terhadap ikan yang ditemukan mengandung plastik mengalami hambatan penetasan telur, menghambat pertumbuhan dan membuat mereka lebih rentan dimangsa predator sehingga meningkatkan angka kematian.
"Microplastics menyerap bahan kimia beracun dari lingkungan perairan yang kemudian masuk ke badan ikan dan mamalia yang mengkonsumsi bahan tersebut," kata kepala eksekutif Orb Media, Molly Bingham dalam pernyataannya.
Sementara banyak kajian menunjukkan prevalensi microplastics di samudra-samudra di dunia di mana lebih dari 5 triliun serpihan plastik mengambang, ini pertama kalinya penelitian dilakukan terhadap air minum.
Indonesia Harus Akhiri Status 'Penyumbang Sampah Plastik' Dunia
Brantas, Bengawan Solo, Serayu, dan Progo termasuk dalam 20 sungai terkotor di dunia. Hal itu menjadikan Indonesia pengotor laut dari sampah plastik terbesar kedua di dunia sesudah China.
Berdasarkan artikel ilmiah di Nature, sekitar 1,15 hingga 1,41 juta ton limbah plastik dari sungai mencemari lautan tiap tahun. Dari jumlah tersebut Indonesia diperkirakan menyumbang sekitar 200.000 ton plastik.
Dalam tulisannya, Thomas Wright dan Dr Sarah Waddell, menyebut bahwa limbah plastik itu dapat mengganggu bahkan membunuh binatang laut. Makhluk-makhluk tersebut dapat mati kelaparan sesudah memakan limbah plastik, di mana partikelnya tak dapat diserap tubuhnya.
Selain itu, plastik yang mulai terurai mengeluarkan zat kimia berbahaya dan mencemari laut. Hal itu menyebabkan risiko kesehatan terhadap binatang-binatang dan juga dapat memasuki rantai makanan -- dan bisa berakhir di makanan yang kita santap.
Sadar akan bahaya itu, sejumlah upaya pun telah dilakukan untuk mengurangi limbah, salah satunya dengan membatasi penggunaan plastik.
Dikutip dari The Conversation, Kamis 7 September 2017, pada Februari 2016 Pemerintah Indonesia mencoba mengurangi penggunaan plastik melalui program kantong plastik berbayar seharga Rp 200. Namun belum genap setahun, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memutuskan menghentikan program dengan alasan ketiadaan payung hukum untuk pelaksanaan di lapangan.
Selain itu, pengelolaan sampah darat yang lebih baik diperlukan. Pasalnya, menurut penelitian yang dipublikasikan Nature, menunjukkan bahwa sumber limbah dari daratan dianggap menjadi sumber utama limbah plastik laut.
Dalam Konferensi Kelautan PBB yang pertama pada Juni 2017, Indonesia berkomitmen mengurangi 70 persen sampah plastik pada 2025. Ini adalah Konferensi PBB pertama di dunia dengan fokus sumber daya laut yang berkelanjutan.
Namun beberapa pemerhati lingkungan dan cendekiawan meragukan efektivitas pemerintahan saat ini dalam mencapai perubahan. Sejauh ini dalam Undang-Undang tentang Pengelolaan Sampah tidak terdapat rujukan khusus mengenai limbah plastik.
Advertisement