Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung lesu selama sepekan periode 31 Agustus-8 September 2017.
Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (9/9/2017), IHSG susut 0,01 persen dari posisi 5.864 pada Kamis 31 Agustus 2017 menjadi 5.857 pada Jumat 8 September 2017.
IHSG tertekan itu didorong dari indeks saham LQ45 melemah 0,05 persen secara mingguan. Sementara itu, sektor saham kecil dan menengah tergelincir 1,58 persen. Investor asing pun masih melakukan aksi jual di pasar saham. Tercatat aksi jual investor asing mencapai US$ 301 juta selama sepekan.
Baca Juga
Advertisement
Di pasar obligasi, indeks melemah 0,90 persen. Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun naik menjadi 6,46 persen. investor asing melakukan aksi beli mencapai US$ 359 juta.
Adapun sentimen pengaruhi pasar selama sepekan antara lain dari ekternal yaitu data tenaga kerja Amerika Serikat (AS). Tercatat data tenaga kerja AS non sektor pertanian berada di kisaran 156 ribu di bawah harapan 180 ribu. Di sisi lain, tingkat pengangguran naik menjadi 4,4 persen. Sementara itu, upa pekerja hanya naik 2,5 persen secara year on year (YoY).
Presiden Amerika Serikat Donald Trump pun sepakat dengan anggota kongres dari Partai Demokrat untuk menaikkan batas waktu plafon utang dan dana pemerintah hingga pertengahan Desember.
Kabar mengejutkan juga datang dari bank sentral AS atau the Federal Reserve. Wakil Ketua the Federal Reserve Stanley Fischer mengundurkan diri pada pertengahan Oktober. Ini memberikan jalan Presiden AS Donald Trump untuk menentukan arah bank sentral ke depan.
Kemudian ketegangan di Korea Utara meningkat. Korea Utara menyatakan telah berhasil uji coba bom pada akhir pekan lalu. Ini meningkatkan ketegangan Korea Utara dengan Amerika Serikat. Presiden Rusia Vladimir Putin pun menolak imbauan AS untuk memberi sanksi baru terhadap Korea utara.
Dari Eropa, pimpinan bank sentral Eropa Mario Draghi memutuskan tetap mempertahankan suku bunga. Ia pun memberi sinyal program aksi beli kembali obligasi pada Oktober 2017.
Sedangkan dari internal, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Agustus terjadi deflasi 0,07 persen. Deflasi itu dikontribusikan dari penurunan harga pangan. Ini menunjukkan kalau Pemerintah Indonesia berhasil menjaga harga pangan. Dengan terjadinya deflasi Agustus juga memberi ruang Bank Indonesia (BI) untuk memangkas suku bunga lagi 25 basis poin (bps).
Selain itu, penawaran obligasi pemerintah juga sangat sukses. Permintaan mencapai Rp 56,53 triliun. Ini untuk kedua kalinya Indonesia mencatatkan sejarah dengan permintaan obligasi besar. Permintaan besar terjadi pada obligasi bertenor pendek yang indikasikan investor berhadap pemangkasan suku bunga ke depan.
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:
Ada Tanda Kebangkitan Konsumsi?
Lalu apa yang perlu dicermati ke depan?
Salah satunya dipertimbangkan yaitu mengenai konsumsi. Apakah ada tanda kebangkitan konsumsi masyarakat. Berdasarkan pengamatan usai Lebaran, Ashmore melihat bisa tidak dan iya untuk jawabannya.
Selama semester I 2017, konsumsi melemah meski ritel segmen atas realtif tangguh. Dalam dua bulan usai Lebaran, Ashmore melihat kalau peritel tetap berjuang dan perusahaan bergerak di bahan bangunan juga menunjukkan tanda pemulihan.
Meski belum ada data remsi pada Agustus 2017, tren kenaikan bahan bangunan menunjukkan ada permintaan untuk renovasi dan perluasan rumah. Jadi masalah likuiditas dapat teratasi di kalangan menengah.
"Sekali lagi kami pikir itu hanya bagian dari konsumsi rumah tangga yang sedang pulih. Seharusnya tidak menjadi tanda konsumen Indonesia secara keseluruhan. Bisa jadi pengeluaran properti terkait bahan bangunan sudah melemah tiga tahun ini mulai terangkat. Kedua ini juga menunjukkan kalau masyarakat lebih fokus untuk konsumsi seperti bahan pokok," tulis Ashmore dalam laporannya.
Kalau konsumsi masih lemah, apa strategi investasi terbaik yang perlu diambil sekarang? Salah satu obligasi dapat menjadi pilihan. Apalagi Bank Indonesia dinilai memberi isyarat untuk menurunkan suku bunga.
Sedangkan kalau investasi saham, pihaknya cenderung hati-hati mengingat sektor saham konsumsi dan ritel juga beri kontribusi besar untuk pergerakan IHSG. Sedangkan sektor perbankan harus berkinerja baik dalam jangka pendek sehingga bisa imbangi sektor konsumsi yang tertekan.
Advertisement