Liputan6.com, Yangon - Organisasi yang mengawasi pemberian Hadiah Nobel Perdamaian menyatakan penghargaan yang dianugerahkan kepada pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi pada tahun 1991 itu tidak dapat dicabut.
Baca Juga
Advertisement
Dikutip dari laman Voice of America, Minggu (10/9/2017), Institut Nobel Norwegia menyatakan, surat wasiat pemrakarsa Hadiah Nobel, Alfred Nobel, maupun Yayasan Nobel tidak mengatur tentang kemungkinan menarik kehormatan itu dari para pemenangnya.
Sebuah petisi di Internet yang ditandatangani oleh lebih dari 386 ribu orang di Change.org menyerukan agar Hadiah Nobel Perdamaian itu dilucuti dari Suu Kyi, sehubungan dengan persekusi terhadap kelompok minoritas Muslim Rohingya di Myanmar.
Suu Kyi menerima penghargaan itu karena "perjuangannya yang tanpa kekerasan bagi demokrasi dan hak asasi" sambil melawan penguasa militer.
Suu Kyi menjadi pemimpin de facto negara itu setelah Myanmar mengadakan pemilu bebas pertama pada tahun 2012 dan ia memimpin partainya meraih kemenangan telak.
Menanti Aksi Suu Kyi
Peraih Nobel Perdamaian Desmond Tutu (85) mendesak pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi (72) untuk mengakhiri kekerasan yang menimpa etnis Rohingya. Sama seperti Tutu, Suu Kyi juga merupakan penerima Nobel Perdamaian.
Tutu yang juga merupakan seorang Uskup Agung mengatakan bahwa "kengerian" dan "pembersihan etnis" di wilayah Rakhine telah memaksanya untuk bicara, menentang wanita yang dikagumi dan dianggapnya sebagai saudara perempuan tercinta. Demikian seperti dikutip dari The Guardian.
Meski Suu Kyi membela diri dengan mengatakan bahwa pemerintahannya tengah menangani krisis Rohingya, Tutu mendesak peraih Nobel Perdamaian lainnya untuk melakukan intervensi.
"Saya sekarang sudah tua, jompo, dan secara resmi telah pensiun. Namun, saya melanggar sumpah saya untuk tetap diam dalam urusan publik karena dipicu kesedihan mendalam," ungkap Tutu melalui sebuah surat.
"Selama bertahun-tahun saya memiliki foto Anda (Suu Kyi) di meja untuk mengingatkan saya akan ketidakadilan dan pengorbanan yang Anda alami atas cinta dan komitmen Anda bagi rakyat Myanmar. Anda melambangkan kebenaran," ujar Tutu.
"Kemunculan Anda dalam ranah publik menghilangkan kekhawatiran kami tentang kekerasan yang dilakukan terhadap warga Rohingya. Namun, apa yang disebut dengan 'pembersihan etnis' dan 'genosida yang perlahan-lahan' saat ini dipercepat."
"Ini tidak sesuai bagi sebuah simbol kebenaran untuk memimpin negara dengan cara seperti itu. Jika ongkos politik untuk menaikkan Anda ke posisi tertinggi di Myanmar adalah sikap diam Anda, maka ini harga yang terlalu mahal," tutur aktivis anti-Apartheid tersebut.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement