Liputan6.com, Probolinggo - Warga kawasan Tengger di lereng Gunung Bromo memiliki satu tarian khas yang ditarikan saat perayaan Hari Raya Karo. Tari sodoran namanya. Tarian itu merupakan perlambang lahirnya manusia di muka bumi.
Tari sodoran sendiri adalah rangkaian dari perayaan Hari Raya Yadnya Karo. Dalam ritual itu, secara berurutan dilaksanakan Kumpul Karo – Tekaning Ping Pitu – Resik Banten Karo – Sodoran – dan Mulihning Ping Pitu.
Ada yang spesial dari tari sodoran ini, yakni hanya ditarikan oleh warga di tiga desa saja. Padahal, perayaan Yadnya Karo digelar seluruh warga Hindu Tengger di lereng Gunung Bromo.
Yadnya Karo selalu digelar warga Hindu Tengger di saat bulan ke loro atau dua, dalam hitungan kalender tengger.
"Karo itu hari raya warga Tengger, karo bermakna dua. Sedangkan sodoran perlambang munculnya manusia di muka bumi," tutur Supoyo, sesepuh Tengger, Jumat, 8 September 2017.
Baca Juga
Advertisement
Arti makna Karo yang berarti dua, adalah segala hal di muka bumi ini selalu berpasangan, seperti hidup dan mati, malam dan siang, laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya. Lewat Karo ini, senantiasa umat manusia selalu menjaga keselarasan dua hal tersebut agar tercipta keharmonisan.
Sodoran sendiri menceritakan makna yang terkandung dalam karo itu sendiri. Dalam tarian ini, mereka menggelar tarian dengan menggunakan Klontong (Tanduk Kerbau) dan Sodor (Tongkat dari bambu).
Penari dalam tari sodoran ini awalnya hanya satu orang, kemudian masuk dua orang lain hingga genap menjadi enam orang. Para penari tampil diiringi musik dari gamelan Jawa.
"Seperti yang saya jelaskan tadi, makna dalam tarian sodoran ini, sebagai lambang munculnya manusia di muka bumi ini. Sehingga dalam tarian ini, dilakukan satu orang, kemudian bertambah dua orang, hingga sebanyak enam orang," ujar Supoyo.