Demi Bantuan Kemanusiaan Rohingya, Militan Rela Gencatan Senjata

Kelompok pemberontak usul 1 bulan gencatan senjata guna mempermudah proses bantuan kemanusiaan. Hingga kini militer Myanmar belum sepakat.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 10 Sep 2017, 11:58 WIB
Suasana rumah yang terbakar di desa Gawdu Zara, negara bagian Rakhine utara, Myanmar, (7/9). Seorang wartawan melihat api membakar rumah di desa yang ditinggalkan oleh Muslim Rohingya. (AP Photo)

Liputan6.com, Rakhine - Kelompok pemberontak etnis Muslim Rohingya mendeklarasikan gencatan senjata yang akan dimulai pada Minggu 10 September 2017. Mereka juga mendesak agar militer Myanmar melakukan hal serupa selekas mungkin.

Gencatan senjata itu diumumkan oleh Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) --kelompok pemberontak Rohingya-- pada Sabtu kemarin dan akan dilaksanakan selama sekitar satu bulan. Demikian seperti dilansir BBC, Minggu (10/9/2017).

Selama periode itu, militan ARSA meminta agar organisasi humaniter atau kemanusiaan terus memberikan bantuan kepada etnis Rohingya dan warga sipil terdampak konflik bersenjata di Rakhine.

Meski begitu, inisiatif gencatan senjata tersebut belum direspons maupun disepakati oleh pemerintah dan militer Myanmar.

Serangan sejumlah anggota ARSA ke pos polisi di Rakhine pada 25 Agustus lalu memicu respons dari militer Myanmar, mengawali konflik bersenjata dan eksodus massal etnis Rohingya yang terdampak.

Sekitar 290.000 orang Rohingya dilaporkan telah melarikan diri dari Rakhine dan mencari perlindungan di perbatasan di Bangladesh sejak kejadian itu.

PBB mengatakan bahwa kelompok humaniter di lapangan membutuhkan dana sekitar US$ 77 juta berupa kebutuhan pokok dan kesehatan untuk membantu etnis Rohingya yang melarikan diri dari Rakhine, di mana mereka kerap mendapat persekusi serta kekerasan dari militer yang turut didukung oleh kelompok etnis mayoritas.

Kelompok etnis Rohingya --berstatus minoritas tanpa kewarganegaraan di Myanmar-- menyebut bahwa militer melakukan aksi brutal, termasuk di antaranya adalah membakar desa mereka.

Akan tetapi, pemerintah Myanmar membantah tuduhan tersebut dan berdalih bahwa operasi militer di Rakhine merupakan upaya memerangi teroris Rohingya, salah satunya ARSA yang disebut sebagai kelompok teror oleh Naypydaw.

 


Kondisi Pengungsi Memprihatinkan

Organisasi humaniter dan jurnalis asing di lapangan mengaku terkejut dengan kondisi dan banyaknya warga sipil Rohingya yang tengah melarikan diri dari Rakhine.

Mereka melaporkan, ribuan orang Rohingya yang melarikan diri melalui rute darat menuju Bangladesh, terlantar di pinggir jalan, mengemis, dan mengejar truk makanan yang melintas.

Seorang reporter Associated Press menyaksikan satu orang pingsan karena kelaparan saat mengantre di pos distribusi makanan.

Koordinator Residen PBB di Bangladesh, Robert Watkins mengatakan, "Ada kebutuhan mendesak untuk membuat 60.000 tempat penampungan baru, makanan, air bersih, dan layanan kesehatan, termasuk layanan dan dukungan khusus untuk perempuan Rohingya penyintas kekerasan seksual."

Mereka yang telah melarikan diri Rakhine menyebut menerima perlakukan kekerasan dan ancaman pembunuhan dari militer Myanmar.

Sementara itu, muncul pula laporan mengenai aksi pembakaran desa yang dihuni oleh etnis Rohingya.

Pemerintah Myanmar mengatakan, pembakaran itu dilakukan sendiri oleh ARSA dan penduduk desa.

Namun, seorang wartawan BBC di negara bagian Rakhine pada Kamis lalu melihat sebuah desa Rohingya yang tampaknya dibakar oleh sekelompok etnis mayoritas.

Pada Sabtu, kelompok hak asasi manusia Amnesty International menuduh militer Myanmar menanam ranjau darat di perbatasan dengan Bangladesh.

Penjaga perbatasan Bangladesh dan penduduk desa mengatakan kepada BBC, mereka menyaksikan lebih dari 100 tentara Myanmar yang berjalan dan tampaknya menanam ranjau darat di perbatasan.

Pejabat Bangladesh meyakini, pasukan pemerintah Myanmar menanam ranjau darat untuk menghentikan Rohingya kembali ke desa mereka.

Sedangkan seorang sumber militer Myanmar mengatakan, tidak ada ranjau darat yang ditanam akhir-akhir ini. Sementara pemerintah pusat menyebut, informasi akan hal itu masih sangat terbatas, sehingga belum dapat dipastikan kebenarannya.

Situasi Rohingya memicu kekhawatiran dan protes dunia, dan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi telah dikritik karena gagal melindungi mereka.

Berbagai pemimpin dunia telah mendesak Suu Kyi, peraih Nobel Perdamaian, untuk berbicara dan mengambil sikap atas nama Rohingya.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya