Liputan6.com, Jakarta - Panitia Khusus Hak Angket KPK sudah memasuki tahap akhir. Pansus akan menyampaikan rekomendasi dalam waktu dekat.
Sekretaris Jenderal Partai NasDem Jhonny G Plate mengatakan, NasDem tetap berkomitmen menjaga KPK tidak diperlemah dengan cara apa pun. Sebagai gantinya, KPK butuh penambahan kewenangan guna melengkapi tugas pemberantasan korupsi.
Advertisement
Salah satunya pemberian kewenangan penghentian penyidikan (SP3). Saat ini, NasDem melihat KPK menghadapi beberapa kendala dalam mengumpulkan bukti.
Hal ini berakibat ketidakpastian hukum. Sebab, KPK tidak bisa menghentikan kasus.
"Karena itu perlu dipertimbangkan agar KPK diberikan kewenangan menghentikan perkara dengan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) agar demi kepastian hukum KPK juga dapat mengevaluasi perkara-perkara yang telah disidik namun tidak cukup bukti secara hukum," kata Jhonny di Kantor DPP NasDem, Jakarta, Senin (11/9/2017).
Ia menilai KPK perlu mengkaji perkara-perkara yang selama ini terbengkalai. Ketika tidak cukup bukti, segera dicarikan solusi agar tidak terkatung-katung.
Di sisi lain, NasDem ingin KPK menjalankan tugas sesuai prinsip peradilan yang adil. Dengan demikian, kata Jhonny, tidak ada diskriminasi dalam penanganan perkara.
"Hak seseorang untuk didampingi penasihat hukum selama proses pemeriksaan, hak untuk diperlakukan adil tanpa diskriminatif di depan hukum hingga akuntabilitas terhadap penyitaan, penggeledahan dan penyimpanan, penyerahan, pengembalian atau pemusnahan barang bukti dan sebagainya, harus dijamin pemenuhannya," ucap dia.
Saksikan Video Menarik Di Bawah Ini:
11 Poin Temuan
Sebelumnya, Pansus Hak Angket KPK menyampaikan 11 poin temuan sementara selama menjalankan tugas penyelidikan terkait tugas dan kewenangan KPK, yaitu:
1. Dari aspek kelembagaan, KPK bergerak menjadikan dirinya sebagai lembaga superbody yang tidak siap dan tidak bersedia dikritik dan diawasi, serta menggunakan opini media untuk menekan para pengkritiknya.
2. Kelembagaan KPK dengan argumen independennya mengarah kepada kebebasan atau lepas dari pemegang cabang-cabang kekuasaan negara. Hal ini sangat mengganggu dan berpotensi terjadinya abuse of power dalam sebuah negara hukum dan negara demokrasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
3. KPK yang dibentuk bukan atas mandat konstitusi, melainkan UU Nomor 30 Tahun 2002 sebagai tindak lanjut atas perintah Pasal 43 UU 31 Tahun 1999 sebagai pengganti UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sudah sepatutnya mendapatkan pengawasan yang ketat dan efektif dari lembaga pembentuknya di DPR secara terbuka dan terukur.
4. Lembaga KPK dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK belum bersesuaian atau patuh atas asas-asas yang meliputi asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU KPK.
5. Dalam menjalankan fungsi koordinasi, KPK cenderung berjalan sendiri tanpa mempertimbangkan eksistensi, jati diri, kehormatan, dan kepercayaan publik atas lembaga-lembaga negara, penegak hukum. KPK lebih mengedepankan praktik penindakan melalui pemberitaan (opini) daripada politik pencegahan.
6. Dalam hal fungsi supervisi, KPK Iebih cenderung menangani sendiri tanpa koordinasi, dibandingkan dengan upaya mendorong, memotivasi dan mengarahkan instansi kepolisian dan Kejaksaan.
KPK cenderung ingin menjadi lembaga yang tidak hanya di pusat, tapi ingin mengembangkan jaringan sampai ke daerah. Yang sesungguhnya, KPK dibentuk lebih pada fungsi koordinasi dan supervisi. Adapun penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan lebih pada fungsi berikutnya atau "Trigger Mechanism".
7. Dalam menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK sama sekali tidak berpedoman pada KUHAP dan mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia bagi para pihak yang menjalani pemeriksaan.
Didapatkan berbagai praktik tekanan, ancaman, bujukan, dan janji-janji. Bahkan juga didapatkan kegiatan yang membahayakan fisik dan nyawa. Pencabutan BAP di persidangan serta kesaksian palsu yang direkayasa. Ke depan, tentunya hal-hal itu perlu ada langkah-langkah perbaikan.
8. Terkait dengan SDM aparatur KPK, kembali KPK dengan argumen independennya, merumuskan dan menata SDM-nya yang berbeda dengan unsur aparatur pada lembaga negara pada umumnya yang patuh dan taat kepada UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang aparatur sipil negara dan UU aparatur negara lainnya, seperti UU Kepolisian dan UU Kejaksaan.
KPK dengan argumen independen tidak tepat dan tidak memiliki landasan hukum yang cukup hanya dengan PP. Apalagi PP Nomor 103 Tahun 2012 tentang SDM KPK sebagaimana telah diubah dari PP No 63 Tahun 2005, mendasarkannya kepada UU KPK yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi bukan tentang SDM aparatur.
Walaupun ada putusan MK Nomor 109 Tahun 2015 atas hal tersebut, ke depan harus dikembalikan dan diperbaiki secara hukum yang benar, agar tidak menimbulkan dualisme pengaturan di bidang aparatur negara di internal KPK, seperti adanya organisasi wadah pegawai, penyidik independen yang bisa berbeda kebijakan dengan atau bagi aparatur KPK lainnya.
9. Terkait dengan penggunaan anggaran, berdasarkan hasil audit BPK, banyak hal yang belum dapat dipertanggungjawabkan dan belum ditindaklanjuti atas temuan tersebut. Untuk itu dibutuhkan audit lanjutan BPK untuk tujuan tertentu. Dari audit tersebut dapat diketahui secara pasti pencapaian sasarannya utamanya yang terkait dengan kinerja KPK.
Ke depan BPK juga perlu mengaudit atas sejumlah barang-barang sitaan (BASAN) dan barang-barang rampasan (BARAN) dari kasus-kasus yang ditangani KPK atas temuan-temuan Pansus di lima kantor RUPBASAN pada wilayah hukum Jakarta dan Tangerang yang tidak didapatkan data-data BASAN dan BARAN dalam bentuk uang, rumah, tanah dan bangunan di Rumah Penyimpanan Barang Sitaan dan Rampasan Negara (RUPBASAN).
10. Terhadap sejumlah kasus yang sedang ditangani oleh KPK, Pansus memberikan dukungan penuh untuk terus dijalankan sesuai dengan aturan hukum positif yang berlaku dan menjunjung tinggi HAM. Untuk itu Komisi III DPR RI wajib melakukan fungsi pengawasan sebagaimana dilakukan terhadap instansi kepolisian dan Kejaksaan melalui rapat-rapat kerja, RDP dan kunjungan lapangan atau kunjungan spesifik.
11. Akan halnya mengenai sejumlah kasus atau permasalahan yang terkait dengan unsur pimpinan, mantan pimpinan, penyidik dan penuntut umum KPK, yang menjadi pemberitaan di publik seperti laporan Saudara Niko Panji Tirtayasa di Bareskrim, kasus penyiraman penyidik Novel Baswedan, kematian Johannes Marliem, rekaman kesaksian saudari Miryam S Haryani, pertemuan Komisi Ill DPR dengan penyidik KPK: kiranya Komisi III DPR RI dapat segera mengundang pihak KPK dan Polri dalam melaksanakan fungsi pengawasan agar tidak terjadi polemik yang tidak berkesudahan.
Advertisement