Duta Pertanian Muda Taiwan: Menjadi Petani Itu Keren

Pemerintah Taiwan mengadakan program 2017 Young Agricultural Ambassador New Southbond Policy Exchange Program.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 12 Sep 2017, 15:01 WIB
Para peserta Young Agricultural Ambassador New Southbond Policy Exchange Program di kantor TETO, Senin (11/9/2017)

Liputan6.com, Jakarta - Lima belas duta pertanian Taiwan berkunjung ke Indonesia. Usia mereka masih muda, 18-35 tahun. Semuanya berpendidikan, bahkan ada yang bergelar master hingga doktor.

Representative Taipei Economic and Trade Office (TETO) John Chen mengatakan, ini adalah kali pertamanya pemerintah Taiwan mengadakan program Young Agricultural Ambassador New Southbond Policy Exchange Program.

"Merupakan implementasi dari pernyataan Presiden Tsai Ing-Wen yang menekankan, keinginan untuk berbagi sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan negara lain dalam skala ekonomi yang besar," kata Chen di kantor TETO, Senin, 11 September 2017.

Representative Taipei Economic and Trade Office (TETO), John Chen menjelaskan soal 2017 Young Agricultural Ambassador New Southbond Policy Exchange Program pada Senin (11/9/2017)

Para duta berlatar belakang ahli muda di bidang pertanian, kehutanan, perikanan, dan peternakan, yang diseleksi untuk mengunjungi Indonesia dan Filipina. Ada yang sudah jadi petani atau peternak, lainnya menggantungkan cita-cita di bidang industri pertanian.

Kunjungan ke Indonesia dijadwalkan pada 9-12 September 2017. Para duta akan berkunjung ke Bogor dan Lembang, Bandung.

Program pertukaran tersebut bertujuan membantu para pemuda Taiwan dalam keahlian di bidang agrobisnis. Mereka juga diberi kesempatan untuk membentuk jaringan internasional, serta mengembangkan potensi agrobisnis yang inovatif dan berteknologi tinggi.

"Indonesia dan Taiwan memiliki banyak peluang untuk kerja sama agrobisnis yang saling menguntungkan," kata John Chen.

Pemuda Taiwan Kembali ke Desa

Saat ini, bertani tak lagi jadi pilihan bagi pemuda Indonesia. Mereka berpaling dari desa dan memilih mengadu nasib di kota-kota besar yang kian sesak dan tak manusiawi. Nusantara yang subur terancam mengalami krisis petani. 

Hal sebaliknya terjadi di Taiwan. Banyak generasi muda justru pulang ke desa. Mereka memilih berkarier di bidang agrikultura.

Beberapa dari mereka punya latar belakang profesional. Salah satunya Yan Meng-Jia. Ia mendapat predikat master di bidang Information Engineering dari National Central University Taiwan.

Perempuan muda yang akrab dipanggil Momo itu pernah bekerja di perusahaan semikonduktor terkemuka. Namun, setelah menikah, ia dan suaminya memilih pulang ke desa.

Momo bekerja di Sheng-Diao Aquatic Technology yang mengembangkan tambak ikan, salah satunya tilapia, yang hasilnya diekspor ke sejumlah negara, seperti China, Thailand, dan Malaysia.

"Menurut saya, petani itu pekerjaan yang keren," kata dia saat berkunjung ke kantor Taipei Economic and Trade Office (TETO), Senin, 11 September 2017. 

Sementara, Liu Ching-Yuan memilih meneruskan usaha keluarga di bidang perkebunan teh. "Saya generasi ketiga. Nenek saya yang memulai perusahaan ini," kata dia.

Namun, pemuda tersebut mengaku melakukan pendekatan berbeda daripada yang dilakukan para pendahulunya. "Kami bukan hanya produsen, melainkan juga mengolah dan memasarkan produk kami," kata Liu, yang mengaku tehnya diproduksi secara organik.

Saat pemuda Indonesia ramai-ramai ke kota, generasi muda Taiwan bernama Liu Ching-Yuan justru pulang membangun desa

Yang menarik, Liu juga memadukan pertanian dengan wisata. Para turis dari dalam dan luar negeri bisa datang ke perkebunanannya, merasakan pengalaman budaya teh Taiwan, sekaligus bersenang-senang. 

Liu mengaku tak pernah menyesali keputusannya untuk jadi petani. "Kami memiliki organisasi petani muda di mana anggotanya bisa saling berbagi. Kami tak pernah merasa sendirian," kata dia.

Sementara, Huang Wen-Hung mengembangkan pertanian buah milik keluarganya. Pemilik gelar doktor di bidang Agricultural Economics tersebut mengembangkan sistem pemasaran produk-produk pertanian lewat internet.

Petani muda Taiwan punya pendekatan berbeda dengan para pendahulunya. Misalnya bidang pemasaran (fruitdays.com.tw)

Tak hanya di Taiwan, perusahaannya, Fruit Days, juga punya cabang hingga Guangzhou. "Kami mengembangkan pertanian organik," kata dia. 

Sama seperti di negara lain, pertanian di Taiwan menghadapi sejumlah kendala, dari lahan yang tak seberapa luas hingga populasi petaninya yang menua dengan cepat. 

Untuk membalikkan kecenderungan tersebut, pemerintah pusat dan daerah mengembangkan program untuk menarik kaum muda untuk kembali mengolah tanah. Tak hanya memberikan pelatihan, generasi baru petani juga mendapatkan bantuan modal. 

Dengan bekal ilmu pengetahuan yang dimiliki, para petani muda melakukan pendekatan berbeda dengan apa yang telah dilakukan pendahulu mereka -- dengan memadukan profesi tradisional itu dengan teknologi. 

"Kami ingin mengubah citra petani yang tua, kotor, dengan orang-orang muda," kata Hung Chung-hsium Direktur Department of Farmers' Service Council of Agriculture Executive Yuan. 

"Lagi pula, pendapatan sebagai petani lebih besar daripada pegawai," kata Hung.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya