Dubes Sudan untuk RI: Lepas dari Sanksi AS, Kami Akan Bangkit

Dubes baru Sudan untuk RI juga berencana akan menggencarkan kerja sama investasi dan bisnis dengan Indonesia.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 12 Sep 2017, 22:00 WIB
Duta Besar Sudan untuk Indonesia yang baru, Elsiddieg Abdulaziz Abdalla, saat berkenalan dengan jurnalis Indonesia di Jakarta (12/9/2017). (Rizki Akbar Hasan/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Jam dinding menunjukkan pukul 13.00 siang lewat beberapa menit ketika Elsiddieg Abdulaziz Abdalla mempersilahkan beberapa jurnalis Indonesia untuk duduk di sofa ruang kerja kantornya yang terletak di bilangan Patra Kuningan, Jakarta Selatan.

'Bagaimana Jakarta?', salah seorang jurnalis bertanya kepadanya saat dipersilahkan duduk

"Macetnya, sangat luar biasa. Butuh beberapa jam untuk saya pergi ke Istana Merdeka tadi pagi," kata yang ditanya seraya menggeleng-gelengkan kepala sembari tertawa.

"Tapi begitu juga di Khartoum (Ibu Kota Sudan), macet jadi persoalan di setiap kota besar," tambahnya.

Begitulah Abdalla, Duta Besar baru Sudan untuk RI, menceritakan pengalamannya berlalu-lintas di Jakarta saat pergi ke Istana Merdeka untuk bertemu Presiden Joko Widodo dalam proses seremoni penyerahan credential letters (surat kepercayaan). Perhelatan yang dilaksanakan Selasa 12 September 2017 pagi itu resmi menandai hari pertama sang dubes berdinas di Tanah Air.

"Saya katakan kepada Pak Presiden, bisnis dan investasi adalah fokus utama pekerjaan saya di Indonesia," lanjutnya menuturkan kembali salah satu topik yang ia sampaikan saat bertemu dengan Jokowi, Selasa (12/9/2017).

Akan tetapi, menurut sang dubes, rencananya untuk melakukan pembahasan mengenai investasi dan bisnis Sudan dengan Indonesia --juga dengan negara lain-- masih dihambat oleh sejumlah kendala.

"Memang saat ini, upaya untuk investasi dan bisnis dengan Indonesia masih terhambat oleh sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat terhadap Sudan," tambahnya.

Sejak 1993, negara dengan Ibu Kota Khartoum itu dijatuhi sanksi oleh AS karena diduga mendukung sejumlah kelompok terorisme, termasuk di antaranya menyediakan safe haven untuk Osama bin Laden. Setelah itu, berbagai macam sanksi yang dijatuhkan oleh PBB turut menyusul, yang dilatarbelakangi atas sejumlah dugaan seperti, pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan.

Kemudian, sejumlah investor dan pegiat bisnis --salah satunya Pertamina dari Indonesia-- menarik diri dari Sudan. Meski begitu, beberapa negara seperti China dan Rusia tetap bertahan menjalin relasi ekonomi.

"Pengaruh penjatuhan sanksi dari AS sangat terasa bagi kami. Begitu sanksi itu muncul, semua (investor dan pegiat bisnis) menarik diri. Termasuk Pertamina," jelasnya.

"Namun China dan Rusia tetap menjalin relasi dengan kami. Proyek infrastruktur kami, didominasi oleh China. Manufaktur alutsista dan peralatan militer, dari Rusia. Tapi tetap saja, selain mereka, sebagian besar negara enggan bekerja sama dengan kami."

Pascasanksi itu dijatuhkan, AS menetapkan sejumlah ketentuan yang wajib diterapkan oleh Sudan, agar sanksi itu dapat dicabut.

"Kami melakukan reformasi HAM, menghentikan dukungan terhadap kelompok terorisme, reformasi pemerintahan pascaperang saudara, dan beberapa aspek lain. Kini, semuanya sudah selesai," jelas Abdalla.

"Setelah Sudan Selatan memisahkan diri, kami juga telah memperlakukan dengan baik satu juta warga sipil pengungsi yang datang dari sana. Karena hakikatnya, mereka juga merupakan saudara kami."

Pada akhir masa kepemimpinan Presiden Barack Obama, akhirnya AS mengumumkan berencana untuk mencabut sanksi terhadap Sudan dalam waktu dekat, setelah menurut penilaian, negara yang dipimpin oleh Presiden Omar al-Bashir itu telah berhasil memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Washington, DC.

"Bulan depan paling cepat atau tahun ini, sanksi tak lagi berlaku. Harapannya, setelah itu, investasi dan pegiat bisnis akan bertandang lagi dan perekonomian kami akan bangkit. Saya sangat optimistis," jelasnya.

Bertolak dari hal itu, salah satu misi sang dubes adalah untuk memulihkan serta menggencarkan investasi dan kerjasama bisnis dengan Indonesia, yang dianggapnya sebagai salah satu negara yang sangat berpotensi besar.

"Anda (Indonesia) adalah negara anggota G20, berpengaruh di Asia Tenggara dan Asia, bahkan perekonomian Anda salah satu yang terbesar di dunia," jelasnya.

"Anda punya semuanya; sumber daya alam dan komoditas yang melimpah, penduduk yang banyak, potensi ekonomi yang besar. Semuanya."

Sang dubes juga menceritakan, kala melaksanakan seremoni credential letters, Presiden Jokowi akan segera mendorong investasi sektor bisnis di Sudan.

"Jokowi jelas mengatakan itu kepada saya," tambahnya.

 


Rencana Sang Dubes di Indonesia

Sambil menyeruput segelas teh cengkeh hangat yang disajikan, Abdalla mengatakan dengan bangga, "Anda tahu, emas di Sudan sangat berlimpah dan merupakan komoditas utama negara kami."

"Saat kami belum mendapatkan sanksi, emas adalah komoditas ekspor utama. Tambang emas kami tersebar di wilayah utara dan barat Sudan," jelasnya.

Sang dubes melanjutkan, saat ini, logam mulia itu juga masih menjadi barang andalan bagi negara yang habis dilanda Perang Saudara itu. Namun, akibat aktivitas pertambangan dan pendistribusian ilegal yang dilakukan oleh warga sipil yang tidak bertanggung jawab, Khartoum belum mampu memaksimalkan emas untuk mendongkrak perekonomian negara.

"Saya harap Indonesia mau melirik komoditas emas kami," tambah Abdalla.

Pria yang lahir di Abufrou itu juga berkeinginan untuk menjalin kerjasama bisnis di bidang agrikultur, perikanan, transportasi, pertambangan minyak dan gas, serta pariwisata.

Rencana kerja sama dengan Indonesia, tak melulu soal bisnis dan investasi, lanjut Abdalla. Beberapa aspek relasi yang dapat dijalin antara Khartoum - Jakarta, salah satunya adalah pada aspek pendidikan.

"Sekitar ratusan mahasiswa Indonesia mengenyam pendidikan tinggi di Sudan. Pekan ini saja, kami baru menerima data sekitar 164 mahasiswa RI yang belajar di sana. Puluhan mahasiswa kami turut pula mengenyam pendidikan di Indonesia," jelas pria yang lahir pada 1 Januari 1958 itu.

"Selama saya berdinas, kerjasama di bidang itu akan semakin ditingkatkan."

Merangkum pembicaraan, Abdalla kembali menegaskan mengenai potensi meningkatnya perekonomian Sudan, setelah nantinya lepas dari jerat sanksi Amerika Serikat.

"Setelah AS mencabut sanksi terhadap kami, ekonomi dan investasi di Sudan akan kembali berkembang," tutupnya.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya