CSIS: Jokowi Boleh Reshuffle Kabinet, tapi Jangan Tahun Depan

Apabila Presiden Jokowi salah langkah melakukan reshuffle kabinet, bisa menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 13 Sep 2017, 07:07 WIB
Presiden Joko Widodo (tengah) memimpin sidang kabinet paripurna yang dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla (kanan tengah) dan jajaran menteri Kabinet Kerja di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (29/8). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes, mengatakan, pada tahun pertama dan kedua menjadi ujian terberat di bidang ekonomi bagi pemerintah pimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Karena itu, menurutnya, reshuffle kabinet yang dilakukan hingga dua kali oleh Jokowi tak lain untuk perbaikan ekonomi.

"Makanya kita melihat pada dua reshuffle yang dilakukan Jokowi itu lebih tepat pada bidang ekonomi," ujar Arya di Kantor CSIS, Jakarta Pusat, Selasa (12/9/2017).

Hal tersebut karena, menurut Arya, Jokowi sangat sadar jika keadaan ekonomi memburuk, tingkat kepuasan kepada pemerintah akan menurun.

"Karena Jokowi memang menurut saya sadar betul bahwa bila bidang ekonomi publik terganggu, itu sedikit banyak juga akan mempengaruhi tingkat kepuasan, tingkat pilihan publik terhadap pemerintahan," ucapnya.

Dengan begitu, Arya mempertanyakan perlu atau tidaknya Jokowi melakukan reshuffle kabinet lagi. Menurutnya, hal tersebut bisa saja dilakukan, tapi presiden akan sangat hati-hati jika akan melakukan reshuffle kabinet.

"Menurut saya, di tahun ketiga ini akan sangat hati-hati untuk melakukan reshuffle, terutama reshuffle yang dilakukan pada menteri-menteri yang berasal dari partai politik," kata dia.

Alasannya, apabila Presiden Jokowi salah langkah melakukan reshuffle, bisa menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.

"Karena bila salah langkah, reshuffle akan menjadi bumerang bagi Presiden. Dan bila salah langkah, partai-partai yang di-reshuffle akan mendapatkan angin bila ada kesalahan yang dilakukan," ujar Arya.


Jangan Tahun Depan

Akan tetapi, Arya menuturkan jika memang Presiden perlu melakukan reshuffle kabinet, itu harus dilakukan dengan melihat kinerja sang menteri. Hanya saja, dia menyarankan agar Presiden tidak melakukan reshuffle di tahun keempat pemerintahannya atau 2018.

"Kalau memang perlu dilakukan berdasarkan kinerja dan memang perlu dilakukan oleh Presiden, saya kira reshuffle bisa saja dilakukan, asal jangan pada tahun keempat," ucap dia.

Dia beralasan, melakukan perombakan kabinet di tahun keempat hanya akan menambah masalah bagi Jokowi saat akan menyongsong Pilpres 2019.

"Karena kalau reshuffle dilakukan pada tahun keempat sangat riskan bagi presiden karena waktu pemilu sudah sangat dekat. Kedua, psikologi dari para menteri yang berasal dari partai akan tersakiti, karena mereka juga harus bertanggung jawab kepada partai," tegas Arya.


Saksikan video menarik di bawah ini:

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya