Liputan6.com, Manila - Anggota Parlemen Filipina memotong anggaran badan publik yang menyelidiki perang narkoba yang dikobarkan Duterte, yakni Komisi Hak Asasi Manusia. Dengan pemotongan itu, komisi tersebut hanya memiliki anggaran sebesar 1.000 peso atau sekitar Rp 260 ribu per tahun.
Ketua DPR Filipina, Pantaleon Alvarez menyebut, komisi itu tak berguna. Kritikus pun menyebut bahwa langkah itu merupakan hukuman atas kritik keras Komisi HAM atas perang narkoba yang dilakukan Presiden Rodrigo Duterte.
Ribuan orang tewas sejak Duterte memulai kampanye anti-narkoba sejak tahun lalu. Hal tersebut bertujuan untuk melenyapkan perdagangan narkoba di Filipina.
Namun, langkah tersebut memicu kritik internasional atas banyaknya korban tewas.
Baca Juga
Advertisement
Dikutip dari BBC, Rabu (13/9/2017), Komisi HAM yang menyelidiki kasus tersebut, pada awalnya meminta anggaran sebesar 1,72 miliar peso untuk 2018. Namun pemerintah mengusulkan kurang dari setengahnya.
Pada pembacaan kedua, Kongres justru hanya menganggarkannya sebesar 1.000 peso. Jumlah tersebut turun drastis dari anggaran 2017 yang sebesar 749 juta peso.
"Jika kalian ingin melindungi hak-hak para penjahat, cari anggaran dari para kriminal," ujar Alvarez dalam sebuah wawancara televisi.
Ia kemudian menuduh komisi itu tidak kompeten. "Mengapa kalian merasa berhak mendapat anggaran dari pemerintah, namun tak mengerjakan pekerjaan dengan benar?," imbuh dia.
Anggota Kongres Edcel Lagman yang menentang pemotongan anggaran, mengatakan bahwa langkah itu hampir seperti hukuman mati.
"Pendukung Duterete hampir menjatuhkan hukuman mati terhadap sebuah kantor independen yang dibuat secara konstitusional dan diamanatkan konstitusi," ujar Lagman.
Meski usulan tersebut masih membutuhkan persetujuan di Senat Filipina, pihak oposisi mengatakan bahwa usulan itu kemungkinan akan diloloskan karena para pendukung Duterte menjadi mayoritas di majelis itu.
Duterte Tak Goyah Kobarkan Perang Narkoba
Pada pertengahan Agustus 2017, Serangkaian penyergapan terkait narkoba yang dilakukan polisi Filipina dalam kurun 24 jam menewaskan 32 orang.
Itu merupakan angka kematian tertinggi yang terjadi dalam satu hari terkait perang narkoba yang sedang gencar dilakukan di negara tersebut.
Ribuan orang tewas sejak Presiden Rodrigo Duterte melancarkan perang narkoba kontroversial pada 2016. Kebijakannya juga dikecam dunia internasional.
Namun, pria yang akrab disapa Digong itu tak menunjukkan tanda untuk mengubah sikap kerasnya. Dalam pidatonya bulan lalu, Duterte memperingatkan para pengguna narkoba bahwa ia akan mengantarkan mereka ke 'gerbang pintu neraka'.
"Saya tidak akan membiarkan kehancuran kaum muda, disintegrasi keluarga, dan kemunduran masyarakat yang disebabkan penjahat yang keserakahannya tak terpuaskan karena tidak memiliki tujuan moral," ujar Duterte.
"Jika Anda menyakiti anak-anak yang mana masa depan negara ini ada di tangan mereka, saya akan membawa Anda ke gerbang neraka," tegas dia.
Dalam masa kampanye, Duterte berjanji untuk menghentikan perdagangan narkoba di Filipina. Menurut Dangerous Drugs Board, terdapat 1,8 juta pengguna narkoba di negara tersebut.
Namun, kritikus berpendapat bahwa dalam upayanya, Duterte membenarkan adanya pembunuhan di luar hukum terhadap terduga pengguna dan pengedar narkoba. Meski kontroversial, banyak warga Filipina yang mendukung kampanye perang narkoba Duterte.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement