Saham Emiten Tambang Rontok, Ada Apa?

Sektor saham tambang alami penurunan tajam dari 10 sektor saham pada Rabu siang ini.

oleh Agustina Melani diperbarui 13 Sep 2017, 14:29 WIB
Pergerakan saham di BEI, Jakarta, Senin (13/2). Pembukaan perdagangan bursa hari ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat menguat 0,57% atau 30,45 poin ke level 5.402,44. (Liputan6.com/Angga Yuniar)
Pergerakan saham di BEI, Jakarta, Senin (13/2). Pembukaan perdagangan bursa hari ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat menguat 0,57% atau 30,45 poin ke level 5.402,44. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Sektor saham tambang turun tajam pada perdagangan saham sesi pertama perdagangan saham, Rabu (13/9/2017).

Berdasarkan data RTI, sektor saham tambang susut 3,36 persen, dan alami penurunan terbesar. Disusul sektor saham konsuksi susut 0,55 persen dan sektor saham infrastruktur tergelincir 0,36 persen.

Sementara itu, sektor saham pertanian naik 0,95 persen, dan alami penguatan terbesar. Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak variasi. IHSG susut 0,11 persen atau 4,47 poin ke level 5.867. Indeks saham LQ45 merosot 0,16 persen ke level 977,38. Sebagian besar indeks saham acuan tertekan.

Saham-saham tambang tertekan antara lain saham PT Bukit Asam Tbk (PTBA) melemah 12,11 persen ke posisi Rp 10.700 per saham, saham PT Adaro Energy Tbk (ADRO) tergelincir 7,51 persen ke level Rp 1.725 per saham, saham PT Petrosea Tbk (PTRO) turun 5,95 persen ke level Rp 1.185 per saham.

Selanjutnya saham PT Timah Tbk (TINS) melemah 6,49 persen ke level Rp 865 per saham, saham PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID) turun 7,18 persen ke posisi Rp 905 per saham, kemudian saham PT Indika Energy Tbk (INDY) merosot 5,64 persen ke level Rp 1.835 per saham, saham PT Bumi Resoruces Tbk (BUMI) susut 5 persen menjadi Rp 228 per saham, saham PT Harum Energy Tbk (HRUM) tergelincir 4,8 persen ke posisi Rp 474 per saham.

Analis PT Asjaya Indosurya Securities William Suryawijaya menuturkan, sektor saham tambang konsolidasi usai menguat tajam. Hal itu dipengaruhi oleh harga komoditas.

"Sedangkan dari dalam negeri sepertinya pengaturan harga batu bara untuk kelistrikan sepertinya bakal jadi sentimen," kata William saat dihubungi Liputan6.com.

William menilai, rencana pengaturan harga batu bara untuk program kelistrikan itu bagus. Akan tetapi, menurut William, investor meresponsnya ada pembatasan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Tarif Listrik Tak Naik, PLN Minta Keistimewaan Harga Batu Bara

Sebelumnya PT PLN (Persero) ingin mendapatkan keistimewaan harga batu bara, yang digunakan s‎ebagai bahan bakar Pembangki‎t Listrik Tenaga Uap (PLTU). Hal ini untuk menekan Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik, seiring kebijakan pemerintah yang tak akan menaikkan tarif listrik.

Direktur Pengadaan Strategis I PLN‎, Nicke Widyawati mengatakan, skema harga batu bara yang diberikan ke PLN saat ini sama dengan harga batu bara yang diekspor. Padahal, batu bara yang dibeli PLN untuk kebutuhan pembangkit.

‎"Kalau sekarang kan enggak ada bedanya dengan yang untuk ekspor. Namanya DMO (Domestic Market Obligation) harusnya berbeda, kan untuk infrastruktur ketenagalistrikan," kata dia di Jakarta, Rabu (30/8/2017).

Menurut Nicke, PLN telah mengusulkan ke pemerintah untuk mendapat keistimewaan harga, dengan pengenaan harga berdasarkan mekanisme cost plus fee, bukan sesuai dengan harga pasar seperti saat ini.

"Maksudnya cost plus fee. Kami mengusulkan dan memohon supaya DMO itu berbeda, jangan mengikuti harga pasar," jelas dia.

PLN perlu mendapat keistimewaan harga batu bara sebagai langkah menekan BPP listrik. Apalagi PLN tidak boleh lagi menaikan tarif listrik oleh pemerintah.

"‎Dengan cost plus fee tidak ada yang dirugikan, tapi juga tidak membuat BPP naik berlebihan. Sekarang tarif kita enggak boleh naik sementara harga batu bara naik terus," papar dia.

Berdasarkan data PLN, harga acuan batu bara naik pada tahun ini dari tahun lalu mencapai US$ 61,8. Harga tersebut membentuk BPP Rp 1.265 per kilo Watt hour (kWh). Sedangkan harga acuan batubara kuartal II 2017 US$ 82,2 per ton, menjadikan BPP menjadi Rp 1.283 per kWh.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya