Dilema Para Petani yang Jual Bongkahan Tanah Sawah Kering

Bongkahan tanah sawah kering yang dijual para petani mengikis lapisan tanah yang kaya unsur hara. Tapi, petani tak bisa menolak.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 13 Sep 2017, 17:01 WIB
Bongkahan tanah sawah kering yang dijual para petani merupakan sumber pendapatan selama kekeringan melanda tempat mereka. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banyumas – Sejumlah lelaki tampak bergerombol di tengah sawah. Dua lelaki menjungkit retakan tanah sawah, dua orang lainnya memanggul tanah itu ke alat angkut serupa pikap kecil. Lantas, pikap itu mengangkut bongkahan tanah itu ke pinggir jalan.

Tak berapa lama, beberapa pekerja memindahkan bongkahan tanah ke sebuah truk lain. Tanah-tanah itu lantas berubah fungsi, dari ditanami menjadi bahan baku bata merah.

Selama dua bulan terakhir, para petani di Desa Cindaga, Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, tak bisa lagi bisa bercocok tanam di sawahnya.

Ratusan hektare tanah itu mengering lantaran tak ada saluran irigasi yang masuk ke daerah itu. Bahkan, sawah itu telah retak-retak dengan kedalaman 50 sentimeter.

Seorang petani, Sunyoto mengakui tak memiliki pendapatan lain di luar bertani. Untuk bertahan hidup, ia kadang kala turut bekerja di proyek pembangunan. Itu sebabnya dia menjual bongkahan tanah itu untuk mencukupi kebutuhan hidup, seperti saat ini.

Tanah sawah satu truk besar dihargai Rp 100 ribu. Sementara, ukuran truk kecil dihargai Rp 60 ribu. "Ya untuk nambah-nambah penghidupan. Banyak di sini yang menjual tanah untuk batu bata," ucap dia, Senin, 11 September 2017.

Petani membongkar permukaan paling atas sawahnya. Padahal, permukaan tanah itulah bagian tersubur yang dipenuhi humus dan unsur hara lain. Akibatnya, pada musim tanam berikutnya, tanah itu keras dan liat lantaran hanya tersisa bagian bawah tanah yang minim unsur hara.

"Kan sulit kalau dijual bagian bawahnya. Yang dijual atasnya, yang subur," ujar Sunyoto.

Meski kehilangan kesuburan, menurut Sunyoto, permukaan tanahnya bertambah dalam. Hal itu menyebabkan air mudah masuk ke petak sawahnya. Dengan begitu, pada musim tanam berikutnya, dia tak perlu lagi repot-repot mengalirkan air ke sawahnya.

"Lama-lama nanti juga jadi gembur. Kalau pas awal memang keras sekali," Sunyoto menjelaskan.

Hampir senada dengan Sunyoto, petani lainnya, Kadar mengatakan terpaksa menjual bongkahan tanah lantaran sawahnya tak lagi bisa ditanami pada musim kemarau. Untuk mendapatkan penghasilan, dia terpaksa menjual tanah sawahnya. Dia juga turut memburuh angkut tanah.

"Kalau saya sih berharapnya ada saluran irigasi ke sini agar musim kemarau tetap bisa ditanami. Ya setidaknya kalau tidak ditanami padi, bisa ditanami palawija," tutur Kandar.

Saksikan video pilihan berikut ini!

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya