HEADLINE: Bagaimana Pil PCC Ciptakan Puluhan 'Zombie' di Kendari

Puluhan orang hilang kesadaran dan bertingkah seperti orang kesurupan usai menelan tablet PCC. Dua tewas, salah satunya siswa SD.

oleh Gabriel Abdi SusantoNilam Suri diperbarui 15 Sep 2017, 00:01 WIB
Bahaya narkoba! Obat PCC beredar di Kendari. (Foto: GPAN)

Liputan6.com, Jakarta Remaja laki-laki itu merangkak di atas kubangan air. Tubuhnya kuyup. Mata mendelik, kepala terangguk-angguk naik turun. 

Beberapa orang berdiri mengelilingi remaja usia SMP ini tanpa berbuat apa-apa. Tiba-tiba terdengar suara berseru, "BNN, mana nih BNN!" Sementara ada yang lain mengatakan, "Itu pasti karena flakka!"

Sang bocah, yang tak diketahui namanya, seperti berada dalam dunianya sendiri. Tak acuh. Dia berusaha bangkit, tapi tidak bisa. Lalu jatuh telentang, tak peduli air kubangan di depannya. 

Adegan ganjil itu terekam dalam sebuah video yang di-post akun Facebook milik Andi Muslimin, berjudul "Waspada, Flaka Masuk Indonesia - Bocah di Kendari Seperti Zombie".

"Mereka tadi habis minum pil. Saya enggak tahu pil apa. Ada yang bilang flakka. Yang lain bilang PCC. Yang jelas dicampur dengan minuman energi," ujar Andi Muslimin, yang merekam tingkah bocah yang sedang teler itu.

Yang gawat, bocah Kendari yang dibilang seperti zombie (mayat hidup) itu tidak sendiri. Puluhan orang, yang kebanyakan remaja, mengalami hal yang kurang lebih sama di ibu kota Sulawesi Tenggara itu.

 

Andi menuturkan, remaja itu sempat dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Kendari, tapi ditolak karena tidak diketahui keluarganya. Rupanya, di rumah sakit itu sebelumnya sudah berdatangan puluhan pelajar SD, SMP, dan SMA, usia antara 15-22 tahun dengan kondisi serupa. Namun, ada juga korban ibu rumah tangga dan pegawai kantoran.

"Kemarin pagi menurut data kami hanya sekitar 30 orang, malam ini sudah bertambah jadi 50 orang," kata Murniati, Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi Kendari. Hingga pukul 20.23 WIB, Kamis (14/9) malam tercatat 66 orang yang menjadi korban. Mereka dirawat di beberapa rumah sakit jiwa di Kendari. Jumlah terbesar, 26 orang, di RSJ Provinsi, sedangkan sisanya disebar ke empat rumah sakit lain, seperti RSU Bahterams, RSU Bhayangkara, RSU Kota Kendari, dan RSU Korem 143 Kendari.

"Siang tadi (kemarin) jumlahnya 64, barusan bertambah dua lagi jadi sudah 66 orang," kata Humas BNNP Sulawesi Tenggara, Adisak Ray, saat dikonfirmasi Liputan6.com, Kamis, 14 September 2017 malam.

Adisak mengungkapkan, sejumlah korban telah dipulangkan ke rumah masing-masing karena berbagai alasan, di antaranya karena kondisi korban yang sudah membaik dan ada pula yang karena pihak keluarga meminta agar anggota keluarganya dipulangkan.

"Sebagian sudah dipulangkan, ada yang memang karena kondisinya sudah membaik ada juga karena keluarga memang meminta untuk dipulangkan," ucapnya.

Meski demikian, ucap Adisak, jika dibandingkan dengan korban yang sudah dipulangkan, saat ini masih lebih banyak korban yang dirawat di sejumlah rumah sakit yang ada di Kota Kendari.

"Masih lebih banyak yang dirawat intensif karena kondisinya belum membaik, bahkan masih ada yang belum sadarkan diri," ujarnya.

Saat ini, pihak BNNP Sulawesi Tenggara, BNNK Kendari, pihak Kepolisian dan Badan POM telah membuat posko yang dipusatkan di Polresta Kendari. "Hari ini kita sudah buat posko yang dipusatkan di Polresta Kendari," tuturnya.

 

 

Foto dok. Liputan6.com

 


Gangguan Mental

Kepala BNN Kendari Murniati menyebutkan, para korban dimasukkan ke rumah sakit jiwa karena tingkah laku mereka seperti orang tidak waras atau mengalami gangguan kepribadian dan disorientasi.

Sebagian datang dalam kondisi delirium (linglung, tidak mampu berpikir jernih). Sebagian besar mengamuk, berontak, bicara tak karuan, hingga terpaksa diikat. "Ada yang pingsan, berontak, kejang-kejang, mulut berbusa. Semuanya masih dalam pengaruh obat. Jadi, bisa dikatakan tidak sadarkan diri," ujar Humas BNNP Sultra, Adi Sak-Ray menambahkan.

Rupanya, mereka menjadi korban penyalahgunaan pil bertuliskan 'PCC' (Paracetamol Cafeine Carisoprodol)--bukan narkoba jenis flakka seperti yang sebelumnya disebut-sebut.

Yang celaka, tak hanya membuat penggunanya hilang kesadaran atau bertingkah seperti orang tidak waras, pil PCC ini bahkan sudah menghilangkan nyawa penggunanya.

"Kemarin meninggal R, pelajar SD kelas VI, umur 13 tahun. Dia memang sempat dibawa ke RS, tapi sudah terlambat," ujar Adi.

Dia mengatakan ada satu lagi yang meninggal, pun diduga usai menelan pil ini. Hanya saja, korban belum sempat dibawa ke rumah sakit.

"Ini kami dapat info ada lagi yang meninggal, belum sempat dibawa ke rumah sakit dan mendapatkan perawatan, jadi belum terdata," katanya.

 

Foto dok. Liputan6.com


Mumbul Sudah Lama Beredar

Kabar tentang puluhan orang yang dirawat akibat obat PCC langsung sampai di telinga Menteri Kesehatan Nila F Moeloek. Menkes prihatin akan ancaman kesehatan jiwa pada generasi muda. "Informasi tentang adanya penyalahgunaan NAPZA (Narkoba, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya), yaitu PCC di Kota Kendari, benar adanya," kata Nila.

Dia berharap Badan Narkotika Nasional (BNN) segera mengidentifikasi kandungan obat sekaligus menetapkan status zat tersebut dalam kelompok adiktif. 

"Obat-obatan terlarang dan zat adiktif sangat membahayakan dan merugikan remaja sebagai aset masa depan bangsa. Jika ini terbukti zat psikotropika, Kemenkes mengingatkan masyarakat berhati-hati terhadap NAPZA yang mengganggu kesehatan. Kami berharap BNN menginvestigasi secepatnya," ujar Menkes.

Rupanya, tak hanya PCC yang jadi primadona. Somadril (golongan obat yang isinya sama dengan PCC) dan Tramadol (obat keras pereda nyeri) juga sudah lama beredar di Kota Kendari.

Farid Eka Putra, salah seorang warga di Kota Kendari, mengungkapkan warga setempat biasa menyebut obat-obatan itu dengan kata mumbul (Somadril, Tramadol, PCC).

"Banyak yang jual di sini, mulai dari warung-warung pinggiran jalan sampai apotek. Belum lagi harganya murah, cuma Rp 20 ribu per paket, satu paket itu isi 10 biji," kata Farid Eka Putra saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (14/9/2017).

Farid mengungkapkan, ia telah lama mewanti-wanti aparat setempat untuk segera memberantas para penyalur obat mumbul itu. Pasalnya, pernah sekali salah seorang keluarganya jadi korban.

Pengedarnya, kata Farid, tak lain adalah warga setempat, yaitu seorang ibu rumah tangga berinisial KM (50 tahun). Usai pelaporan itu, Polsek Mandonga memang telah menangkap KM. Bamun tak lama setelah ditangkap, KM kemudian bebas kembali.

"Sudah ditangkap dulu waktu dilaporkan sama keluarga saya, tapi tidak lama dia bebas. Bulan puasa lalu, saya dengar dia ditangkap lagi, semoga belum lepas," ia mengeluh.

Farid berharap aparat bertindak serius untuk memberantas pengedar obat-obat ini di Kota Kendari. "Yang pasti harapannya polisi serius menangani ini," ia menambahkan.


Delapan Orang Ditangkap

Saat dikonfirmasi secara terpisah, Kabid Humas Polda Sulawesi Tenggara, AKBP Sunarto, mengatakan saat ini pihaknya telah mengamankan delapan tersangka penyalur obat-obatan daftar G. "Iya, kita sudah amankan delapan orang," kata Kabid Humas Polda Sulawesi Tenggara, AKBP Sunarto, saat dikonfirmasi Liputan6.com, Kamis, (14/9/2017).

Kedelapan orang tersebut, kata Sunarto, terdiri atas berbagai kalangan, mulai dari pengangguran, apoteker hingga ibu rumah tangga. Mereka juga diamankan dari berbagai tempat, termasuk Kabupten Kolaka dan Kota Kendari.

"Profesinya beragam, mulai dari pengangguran, ibu rumah tangga, bahkan ada juga yang berprofesi sebagai apoteker. Mereka diamankan dari Kolaka dan Kendari," ujar Sunarto.

Kedelapan orang tersebut saat ini masih menjalani pemeriksaan intensif di Direktorat Narkoba Polda Sulawesi Tenggara. Sunarto mengatakan, para penyalur obat-obatan daftar G ini disangkakan Pasal 196 dan Pasal 197 Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.

"Para pelaku dikenai Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, pasal 197 dan pasal 196 dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara," ujar Sunarto.

Sunarto juga memastikan bahwa penanganan terhadap para pengedar obat PCC itu akan dilakukan dengan serius. "Kalau dibilang beredar bebas iya memang seperti itu, karena obat-obatan seperti ini kan seharusnya hanya dapat dibeli melalui resep dokter. Tapi, nyatanya yang beli pun tanpa resep dokter bisa dapat," tutur Sunarto.

 


BPOM Bergerak

Selain Kepolisian, Balai POM Kendari juga tak kalah gesit karena ini masuk kewenangan mereka. Bahkan, Badan POM pusat dalam keterangan pers yang diterima redaksi Health Liputan6, Kamis malam, menyatakan secara serentak telah menurunkan tim untuk menelusuri kasus lebih lanjut dan melakukan investigasi apakah ada produk lain yang dikonsumsi oleh korban.

"Baru hari ini kita dapat sample, berupa tablet PCC berwarna putih dan ada cairan. Itu yang katanya diminum oleh pasien. Kami sedang lakukan pengujian," Adila Pababbari, Kepala Balai POM (Pengawas Obat dan Makanan) Kendari, menjelaskan kepada Liputan6.com, Kamis, (14/9). 

Tablet PCC yang ditemukan pada korban hanya dimasukkan dalam kantung plastik--tanpa kemasan, label dan keterangan apa pun. 

Adila mengatakan, kasus ini ternyata bukan pertama kalinya terjadi. Sudah 10 kali Balai POM di Kendari mendapati kasus penyalahgunaan PCC dan diminta melakukan uji laboratorium. Dari segi penampilan fisik obat PCC yang ditemukan, terdapat kemiripan dengan Barang Bukti (BB) kasus Balaraja yang pernah ditangani oleh Badan POM pada tanggal 2 September 2016, yaitu tablet Somadryl tanpa izin edar yang mengandung zat aktif Carisoprodol/Karisoprodol.

Dari 10 kali uji, delapan pengujian menyimpulkan bahwa kandungan di dalam tablet PCC memang benar mengandung Paracetamol, Cafeine, dan Carisoprodol. Tiga zat ini juga terkandung dalam obat keras (berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 6171/A/SK tanggal 27 Juni 1973) dengan merek dagang Somadryl yang izin edarnya telah ditarik tahun 2013 karena dampak penyalahgunaannya lebih besar daripada efek terapinya. 

Artinya, peredaran obat Somadryl di kalangan anak muda ini sebenarnya ilegal. Demikian juga tablet-tablet putih yang isinya juga mengandung zat-zat yang terkandung dalam Somadryl, yang dikenal dengan PCC.

Sebenarnya obat yang mengandung zat aktif Karisoprodol memiliki efek farmakologis sebagai relaksan otot, tapi hanya berlangsung singkat. Di dalam tubuh akan segera dimetabolisme  berupa senyawa Meprobamat yang menimbulkan efek menenangkan (sedatif).

Menurut praktisi farmasi yang juga seorang apoteker, Okti Puji Astuti, S.Si, Apt, sebagai relaksan otot, Karisoprodol akan memblokir sensasi nyeri antara saraf dan otak. Karena itu, obat ini biasanya diresepkan dokter untuk mengurangi nyeri pada kasus kecelakaan, usai operasi, dan cedera. 

Namun, menurut temuan BPOM, tujuan pengobatan (Karisoprodol) ini oleh para kuli, nelayan, anak jalanan, dan beberapa kalangan lain disalahgunakan untuk menambah rasa percaya diri sebagai obat penambah stamina. Bahkan, juga digunakan oleh pekerja seks komersial sebagai “obat kuat”.

Sebelum kasus ini terjadi, Balai POM di Kendari telah berkoordinasi dan melakukan penelusuran dengan Kepolisian setempat. Hasil uji PCC tablet yang diperoleh dari BNN Provinsi Sulawesi Tenggara memang menunjukkan positif obat-obatan berwarna putih ini mengandung Karisoprodol.

Pada Juli 2017, Badan POM juga telah melakukan Operasi Terpadu Pemberantasan Obat-Obat Tertentu yang sering disalahgunakan dan memastikan tidak ada bahan baku dan produk jadi Karisoprodol di sarana produksi dan sarana distribusi di seluruh Indonesia.

 


Kenapa Berefek Seperti Gangguan Jiwa?

Menurut Okti Puji Astuti, Karisoprodol bisa mengganggu pikiran dan reaksi tubuh. Obat ini tidak boleh diminum bersama alkohol, karena akan menimbulkan rasa kantuk atau keliyengan.

Perlu dicatat, para pengguna tablet PCC di Kendari tidak sekadar menelan pil ini. Mereka mencampurnya dengan berbagai minuman, seperti minuman energi.

"Minum obat itu tidak boleh dicampur yang aneh-aneh. Efeknya kasat mata: kejang-kejang, mata merah. Kalau dicampur macam-macam, apa pun obat yang kita minum tidak sesuai aturan pakai, tidak sesuai resep dokter, ya bisa seperti itu," Adila menjelaskan. "Apalagi kalau sekali minum 5-10 butir, akan menyebabkan teler."

Kandungan dalam tablet PCC memiliki fungsi masing-masing.

"Paracetamol itu penghilang rasa sakit, Cafein untuk perangsang saraf, dan Carisoprodol itu relaksan atau pelemas otot. Kalau dicampur minuman lain, ya akan lain efeknya," ujar Adila.

Karenanya, PCC yang dicampur dengan bahan minuman lain akan memperparah efek sesungguhnya. Yang tadinya hanya dengan PCC peminum bisa lemah, lemas, dan tak berdaya karena sarafnya sangat rileks, bakal makin tak berdaya. Tak heran, para penggunanya bakal kelihatan seperti orang mabuk, keliyengan alias teler.

Meski demikian, reaksi usai konsumsi PCC akan berbeda pada setiap orang. Saat diresepkan, PCC tidak boleh sembarang diberikan, hanya boleh kalau ada resep dokter. Ini karena Karisoprodol memiliki sifat habit-forming (bisa ketagihan). Meski begitu, obat ini tak lagi boleh dijual.


Obat Lain yang Disalahgunakan

Setelah kasus mumbul ini, Balai POM di Kendari langsung bergerak mengawasi tempat-tempat distribusi obat, seperti apotek dan bekerja sama dengan kepolisian.

"Kami berkoordinasi dengan kepolisian, BNN, Dinas Kesehatan dan lintas sektor lain," Adila menambahkan.

Perlu dicatat, Karisoprodol bukan satu-satunya obat yang sering disalahgunakan. Berdasarkan penelusuran jurnalis Health-Liputan6.com, beberapa obat bebas, seperti obat batuk dan sakit kepala, juga sering digunakan untuk keperluan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. 

Obat antialergi seperti CTM misalnya sering digunakan oleh kebanyakan orang agar bisa tidur. "Obat ini bukan untuk keperluan itu,"ujar Okti Puji Astuti. 

Selain CTM, Chlorpheniramine Maleat atau klorfeniramin maleat ada juga zat aktif PPA (Phenylpropanolamin) yang biasa terdapat dalam obat flu sering dimanfaatkan untuk meredakan stres. Yang paling terkenal di kalangan anak-anak muda adalah obat batuk yang kandungannya Dextromethorphan (DXM or DM). "Mereka menggunakan obat ini agar berasa 'fly',"ujar Okti. 

Ada juga yang memanfaatkan obat ayan atau parkinson yang mengandung Trihexyphenidyl HCl, atau yang sering disingkat THP, juga agar mereka merasa rileks atau 'fly'.

Penggunaan obat-obatan ini, menurut Okti, bisa berakibat fatal, apalagi bila dikonsumsi terus-menerus. "Yang langsung kena ya lever. Organ ini akan langsung terkena efeknya. Bisa rusak dan mengakibatkan kematian meskipun pelan-pelan," tegas Okti.

Adila memperingatkan semua tempat penjualan obat untuk mematuhi undang-undang kesehatan yang berlaku, "Bagi apoteker ada sanksi pidana 15 tahun. Kalau pemilik apotek, kami akan lihat dulu siapa yang menjadi tersangka utama." (kd)

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya