Liputan6.com, Pyongyang - Korea Utara tengah jadi sorotan karena kerap mengadakan uji coba rudal. Namun negara yang dipimpin Kim Jong-un itu, menutup telinga atas kecaman internasional untuk menghentikan aksi berbahaya tersebut.
Selain itu, Korea Utara terkenal dengan menutup diri dari dunia luar. Pyongyang pun diketahui hanya memiliki segelintir hubungan diplomatik dengan negara-negara di kawasan.
Advertisement
Saking tertutupnya, justru membuat turis ingin berwisata ke sana, meski dengan sejumlah aturan ketat yang bisa menjerumuskan turis ke penjara.
Meski tertutup dan memberlakukan aturan ketat bagi turis, Korea Utara tak henti mempromosikan pariwisata. Beberapa waktu lalu, Pyongyang bahkan tawarkan wisata kereta ke seluruh negeri.
Namun, baru-baru ini, di tengah uji coba nuklirnya yang masif, Korea Utara juga menawarkan paket wisata bagi turis.
Paketnya cukup aneh, Korut menawarkan 'Paket Tur Buruh' bagi turis.
Dikutip dari News.com.au pada Jumat (14/9/2017), mereka memperlihatkan sejumlah foto turis tengah menanam padi serta membawa hasil panen di ladang untuk mempromosikan paket liburan aneh bagi pelancong Barat.
Pengumuman paket wisata itu diluncurkan oleh situs National Tourism Administration, DPR Korea Tour. Mereka mengklaim, akan jadi perjalanan yang menarik dan akan membuat popularitas pariswisata negara itu meningkat.
"Turis akan 'tenggelam' dalam kehidupan kerja yang berbeda -- penanaman padi secara manual, penyiangan dan pemetikan buah di pertanian atau di kebun buah di negara ini," tulis situs itu.
"Melalui tur, mereka bisa mendapatkan pemahaman tentang kebijakan pertanian dan budidaya pertanian di negara ini dan mengalami profil aktivitas perburuhan masyarakat yang rajin dan ceria."
Namun, mengesampingkan fakta anehnya tur itu, tawaran tersebut dipertanyakan. Mengingat sudah jadi rahasia umum bahwa Korea Utara kerap melanggar hak asasi manusia secara sistemik, salah satunya adalah kamp kerja paksa budak yang mematikan.
Temuan itu didapat dari kematian mahasiwa 22 tahun asal AS, Otto Warmbier yang pulang dalam keadaan koma lalu meninggal di AS. Diketahui, Otto yang jadi turis melakukan kesalahan sehingga dihukum kerja paksa.
Tapi bukan hanya orang asing atau tahanan yang ditahan untuk kerja paksa. Pemerintah secara sistematis menggunakan kerja paksa dari warga mereka, untuk mengendalikan rakyat dan mempertahankan ekonominya.
Menurut sebuah laporan dari Human Rights Watch, sebagian besar warga Korea Utara harus melakukan kerja paksa tanpa dibayar di beberapa periode kehidupan mereka.
Mantan siswa Korea Utara yang meninggalkan negara tersebut mengatakan kepada Human Rights Watch, sekolah mereka memaksa mereka bekerja secara gratis di peternakan dua kali setahun, selama satu bulan pada satu waktu. Yakni saat membajak dan menyemai waktu, dan lagi pada saat panen.
Dan semua keluarga Korea Utara harus mengirim satu anggota keluarga setidaknya dua jam per hari, enam hari seminggu, untuk mendukung proyek pembangunan pemerintah daerah atau proyek umum, seperti membangun struktur bangunan, memperbaiki jalan, mengumpulkan bahan baku seperti batu hancur, atau pembersihan tempat umum.
Korea Utara juga merupakan salah satu dari sedikit negara di dunia yang belum bergabung dengan Organisasi Perburuhan Internasional. Itu berarti mereka menolak kebebasan berserikat dan hak untuk berorganisasi dan melakukan tawar menawar secara kolektif.
Kendati demikian, seperti kebanyakan industri pariwisata Korea Utara, tak mungkin turis melihat kondisi kerja brutal yang sebenarnya dihadapi warga -- di bawah kediktatoran -- saat mereka mengunjungi peternakan atau kebun pada kunjungan kenegaraan.
Travel Ban AS Bagi Warganya ke Korea Utara
Sementara itu, dengan meningkatnya tensi di Semenanjung Korea, terutama saling hujat antara AS dan Korut, pemerintah Negara Paman Sam memberlakukan travel ban bagi warganya ke Korea Utara.
Larangan itu jatuh 1 September lalu. Namun, sebelum tanggal itu, sejumlah wisatawan berbondong-bondong ke Korea Utara.
"Dengan adanya rencana larangan bepergian 1 September mendatang, rasanya seperti harus berangkat sekarang atau tidak sama sekali," kata Nicholas Burkhead seperti dikutip dari CNN pada akhir Agustus lalu.
Warga asal Virginia AS yang menyesal lantaran ia telat mempelajari bahasa Korea sebelum berangkat ke Korea Utara.
Bagi Burkhead dan orang semacamnya, ancaman penangkapan dan pemenjaraan di negara totaliter nampaknya bukan jadi penghalang bagi mereka. Pun tidak peduli dengan ancaman bahwa Korea Utara bakal jadi sasaran nuklir dari negara mereka sendiri.
Advertisement