Liputan6.com, Jakarta - Carlo Ancelotti menghitung hari? Nasib pelatih di klub Eropa, apalagi klub besar, tak akan pernah ada yang tahu. Baru-baru ini, kita dikejutkan dengan dipecatnya Frank de Boer di Crystal Palace. Hanya 77 hari. Selama itulah Frank de Boer berada di Selhust Park. Gara-gara kekalahan dalam empat pekan awal Premier League dan tanpa torehan gol dari anak-anak asuhnya, dia didepak manajemen Crystal Palace.
Dia mendahului Slaven Bilic (West Ham United) yang pada awal musim berada paling depan dalam sack race. Pemecatan De Boer yang pernah membawa Ajax Amsterdam juara Eredivisie empat kali beruntun itu sungguh mengejutkan. Pasalnya, masa kepelatihannya di Selhust Park ternyata delapan hari lebih pendek dibanding periode keberadaannya di Inter Milan.
Baca Juga
Advertisement
Pemecatan itu pun menjadi rekor baru. De Boer menjadi manajer tercepat yang terdepak di Premier League. Sebelumnya, rekor itu dipegang Les Reed. Pada 2006, Reed dipecat Charlton Athletic setelah hanya menjalani tujuh pertandingan di Premier League.
Bagi awam mungkin mengejutkan, tapi tidak demikian untuk Jose Mourinho. Menurut dia, dunia ini memang kejam terhadap para pelatih. Pemecatan setelah hanya empat laga Premier League bukanlah hal mahagila. Sebelumnya, dia dan Claudio Ranieri dipecat hanya beberapa bulan setelah membawa klub masing-masing juara Premier League.
Mourinho mengatakan, tak sedikit orang di dunia ini yang menikmati kehidupan para pelatih yang bak berjalan di atas mata pisau. Dia tak ragu menuding para insan pers juga berkontribusi terhadap tekanan luar biasa yang dihadapi para pelatih. Tentu saja maksudnya adalah pemberitaan miring, lengkap dengan komentar-komentar sinis para pundit, yang dimuat oleh berbagai media massa.
Pada awal musim, serangan nyata diterima De Boer dari mantan pemilik The Eagles, Simon Jordan. Pria yang juga mantan presiden klub itu terang-terangan menuding De Boer sebagai perjudian mahabesar. Dia menilai filosofi sepak bola pria asal Belanda itu bertentangan dengan tradisi yang ada di Selhust Park. De Boer, kata dia, tak punya pemain-pemain yang mampu mengejawantahkan gaya sepak bola yang diusungnya.
Mourinho memprediksi kegilaan tak akan berhenti pada kasus De Boer. Manajer Manchester United itu yakin hal seperti itu akan terjadi pada musim-musim yang akan datang. Apalagi di Premier League yang disebutnya memang gila. Kekebalan mungkin hanya milik Arsene Wenger. Walaupun dihujat setiap saat, diserang dari segala penjuru mata angin, dia malah memperpanjang kontrak di Arsenal pada akhir musim lalu.
Badai di Muenchen
Tekanan mahabesar bukan hanya ada di Premier League. Tengok saja Carlo Ancelotti di Bayern Muenchen. Baru sebulan memasuki musim baru, sebagian fans sudah berani menggaungkan #AncelottiOut. Apalagi setelah Bayern kalah 0-2 dari TSG 1899 Hoffenheim, pekan lalu. Performa Manuel Neuer dkk. yang seperti lesu darah adalah sebabnya.
Bahkan ketika menang 3-0 atas Anderlecht di matchday I Liga Champions, tengah pekan kemarin, permainan Bayern jauh dari memukau. Die Roten tak tampil layaknya sebuah tim. Anak-anak asuh Ancelotti tak lebih dari sebelas individu dengan ego masing-masing.
Itu mencerminkan friksi yang muncul belakangan ini. Thomas Mueller menganggap Ancelotti tak sepenuhnya membutuhkan dia. Lalu, Robert Lewandowski mengkritik kebijakan transfer dan marketing Bayern serta menilai skuat yang ada saat ini tidak cukup kompetitif untuk bersaing di Liga Champions. Terakhir, Franck Ribery membanting kostumnya saat ditarik keluar dari lapangan saat Die Roten menghadapi Anderlecht.
Friksi sebetulnya sudah muncul pada pengujung musim lalu. Saat itu, Lewandowski mengeluh karena merasa tak didukung tim dalam mengejar gelar top skorer. Gara-gara gagal mencetak gol pada spieltag terakhir, dia disalip Pierre-Emerick Aubameyang, striker Borussia Dortmund. Kekecewaan itu sepertinya masih membekas di hati penggawa asal Polandia tersebut. Kritik terbarunya tak lebih dari penegasan belaka.
Mencermati kasus Mueller, Lewandowski, dan Ribery, sangat terasa adanya keraguan atau malah ketidakpercayaan kepada sang pelatih. Mereka seolah tak mengerti, atau bahkan tak bisa mengerti, keinginan Ancelotti.
Sebuah analisis menarik tentang hal ini datang dari Raphael Honigstein, pengamat sepak bola Jerman yang juga penulis buku Englischer Fussball. Dia secara gamblang menyebut, bukan hanya para penggawa Bayern, manajemen klub juga tak lagi yakin Ancelotti bisa membuat mereka lebih maju.
Secara implisit, Honigstein menilai Bayern mengalami gegar akibat pergantian dari Pep Guardiola kepada Ancelotti. Secara bombastis, dia menyebut semua pemain meningkat di bawah asuhan Pep. Kini, bersama Don Carlo, semuanya stagnan. Ungkapan ini bombastis karena toh, pada masa Guardiola, beberapa pemain justru lantas hengkang dan tenggelam.
Advertisement
Menanti Vonis
Penurunan tingkat kepercayaan ini memang belum terlihat di manajemen klub. Namun, tetap saja Ancelotti tak bisa mengabaikannya begitu saja. Di Bayern, tak ada jaminan untuk siapa pun bertahan di kursi pelatih. Jupp Heynckes, Otto Rehhagel, Juergen Klinsmann, dan Louis van Gaal sudah merasakan pahitnya didepak Bayern saat musim berjalan. Gelar juara musim sebelumnya tak punya arti apa-apa. Tanyakan saja itu kepada Heynckes dan Van Gaal.
Tak berlebihan bila ada yang menilai Ancelotti sekarang ini ibarat tengah menghitung hari guna menanti vonis. Seperti biasa, manajemen Die Roten tak akan reaktif. Mereka hanya akan menunggu perkembangan dinamika di dalam tim. Bila gejolak ketidakpercayaan dari pemain makin membesar, barulah kemudian muncul pernyataan keras. Dulu, biasanya Franz Beckenbauer atau Uli Hoeness yang memulai konfrontasi sebelum kapak pemecatan dilayangkan.
Ada yang menilai kondisi saat ini seperti zaman FC Hollywood. Namun, rasanya tidak demikian. Kondisi saat ini sebetulnya lebih mirip musim kedua Van Gaal. Ada bom waktu yang bisa meledak meledak kapan saja karena hubungan yang kurang harmonis antara pemain dan pelatih. Hanya butuh keterpurukan untuk meledakkan bom waktu itu. Dulu, detonator tersebut adalah kekalahan dari Inter di Liga Champions.
Sebenarnya agak mengejutkan kondisi serupa Van Gaal muncul pada saat ini. Pasalnya, Ancelotti dikenal sebagai sosok yang lebih luwes dalam berkomunikasi dengan para pemain. Bisa dikatakan, dia lebih humanis dibanding Sang Jenderal Tulip. Namun, itulah yang tersaji saat ini. Celakanya, di antara pemain yang dikecewakan Ancelotti adalah lieblingsspieler, Thomas Mueller dan Franck Ribery.
Memang benar ungkapan bahwa tak ada pemain yang lebih besar dari klub. Itu sesuatu yang mutlak, kecuali bila sang pemain berstatus pemilik klub yang bersangkutan. Namun, menjadi sebuah tanda tanya besar ketika seorang pemain yang tampil oke pada masa pelatih-pelatih sebelumnya malah terpuruk di bawah Ancelotti. Pasti ada yang salah dengan sang pelatih.
Posisi Don Carlo kian sulit karena sejauh ini belum menunjukkan perubahan signifikan. Permainan Bayern bukannya atraktif, malah monoton dan kurang efisien. Hasil pramusim yang buruk dan kekalahan dini dari Hoffenheim tertanam kuat di benak para fans. Lalu, yang paling mendasar, dia tak mampu membuat para pemain mengeluarkan kemampuan terbaik di lapangan. Entah karena kerigidan peran yang ditetapkannya di lapangan atau faktor lain.
Andai tak ada lonjakan signifikan dalam permainan pada beberapa pekan ke depan, sulit membayangkan posisi Ancelotti tetap aman. Jika teamgeist yang koyak gagal dirajut utuh kembali pada beberapa hari ke muka, sukar menganggap sang pelatih tak akan terjengkang. Bila die Freude am Fussball tak dapat dihadirkan lagi di dada setiap pemain, Ancelotti tinggal menghitung hari untuk meninggalkan Saebener Strasse adalah sebuah keniscayaan.
Seperti kata Ranieri, pelatih adalah pihak yang paling mungkin dikorbankan. Soalnya, tidak mungkin klub melepas sekian banyak pemain. Lagi pula, pergantian pelatih bisa kapan saja. Beda halnya dengan perekrutan pemain yang harus menunggu jendela transfer dibuka.
*Penulis adalah jurnalis dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom @seppginz.