Liputan6.com, Jakarta - Indonesia adalah negara yang begitu menarik bagi industri otomotif. Dengan populasi lebih dari 250 juta orang (per 2015), negara ini tidak habis-habisnya jadi "ladang subur" untuk meraup keuntungan.
Merujuk data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), sampai saat ini "pemain" di industri otomotif berjumlah 34. Mereka terdiri dari sole agent, distributor, dan manufaktur, tidak termasuk pemain di sektor roda dua.
Mereka semua berkontribusi terhadap penjualan kendaraan yang rata-rata menembus angka 1 juta unit per tahun. Tahun lalu, ada 1,06 juta unit mobil terjual, atau naik 4,5 persen ketimbang 2015. Tahun ini diprediksi angkanya tidak terlalu terpaut jauh.
Ditilik dari aspek sejarah, industri otomotif di Indonesia sudah berusia hampir 100 tahun. Pabrik perakitan mobil pertama di Indonesia didirikan pada 1927 di Tanjung Priok, oleh N.V. General Motors Java Handel Maatschappij.
Sepanjang perjalanan itu, beberapa hal telah terjadi, naik turun seiring dengan perubahan kondisi sosial politik. Di masa Soekarno, industri ini memang tidak terlalu berkembang, baru bertumbuh di era Suharto yang memang mengedepankan "pembangunan".
Baca Juga
Advertisement
Situasi industri
Y. Wasi Gede Puraka (dkk.), dalam buku Situasi Industri Otomotif dan Peran Serikat Buruh Otomotif di Indonesia (2008) menyimpulkan bahwa perkembangan industri otomotif di Indonesia sejak medio 1960-an tidak bisa dilepaskan dari relasinya dengan industri otomotif global. Beragam variabel turut memengaruhi, dari mulai perkembangan teknologi hingga politik industrialisasi mempengaruhi "corak" otomotif di suatu negara.
"Interaksi timbal balik di antara faktor-faktor tersebut akan menciptakan situasi yang khas terhadap keberadaan industri otomotif suatu negara," tulis buku tersebut.
Satu aspek yang cukup penting, dalam hal ini adalah peralihan dari sistem produksi fordisme ke pos-fordisme. Dalam pos-fordisme, sebuah komoditas tidak harus dibuat di satu tempat tertentu. Tiap-tiap komponennya dibuat oleh perusahaan terpisah, tapi tetapi dengan pengawasan dari prinsipal.
Sejak masa Orde Baru, industri otomotif Indonesia diutamakan sebagai industri perakitan, dengan bentuk joint venture antara pabrikan (yang didominasi Jepang) dengan pengusaha lokal. Dengan pengaruh pos-fordisme, tercipta beragam tingkat produksi, dari mula tier 1, tier 2, dan sebagainya.
Erwan Agus Purwanto, dalam tulisan berjudul Kebijakan Otomotif di Indonesia yang dilansir Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, Juli 1997, menyimpulkan bahwa hingga 1996, kebijakan industri otomotif Indonesia selain didasari pada pertimbangan ekonomis, juga banyak didasarkan pada pertimbangan politis, atau atas dasar kepentingan kelompok elit tertentu.
"Kondisi yang demikian menyebabkan kebijakan otomotif di Indonesia sangat rentan terhadap pengaruh politik," demikian tulis Agus. Ia merujuk contoh yang paling monumental adalah proyek Mobil Nasional, yang sebetulnya bukan kebijakan populer di mata pabrikan ataupun organisasi perdagangan internasional seperti World Trade Organisation (WTO).
Aspek-aspek kesejarahan ini yang kemudian turut berkontribusi terhadap situasi otomotif di Indonesia sekarang. Misalnya, minimnya industrialisasi (hilu sampai hilir) otomotif, yang akhirnya harus mulai dibenahi pemerintahan di era reformasi.
Perubahan yang relatif besar mulai dilakukan saat reformasi, terutama ketika pemerintah harus meminjam uang ke IMF. IMF memberi syarat "penyesuaian struktural", di mana di antaranya pemerintah diminta mereformasi bidang otomotif.
Menurut buku Situasi Industri Otomotif (2008), reformasi tersebut terdiri dari tiga poin. Pertama, mengurangi tarif impor; kedua mengurangi hambatan-hambatan ekspor; dan terakhir menghilangkan proteksi tinggi terhadap kandungan lokal.
Tercatatlah pada Juni 1999, pemerintah mengumumkan bahwa mereka menerapkan kebijakan baru untuk industri otomotif, yang intinya diarahkan untuk menjadi lebih efisien dan secara global mampu bersaing, sekaligus agar bisa mengundang investor dari luar.
Implikasinya terasa hingga saat ini, dimana pemerintah terus menerus mendorong pabrikan untuk memproduksi komoditas yang laku di pasar global, dalam hal ini mobil sedan.
Pemerintah juga menggenjot maksimalisasi perakitan kendaraan, mengingat produksi yang ada saat ini masih berada di bawah kapasitas total. Tahun 2015 lalu, kapasitas produksi terpasang sudah mencapai 2 juta unit. Sementara produksi mobil di tahun yang sama berkisar di angka 1,3 juta saja.
Sebagai pembanding, Thailand, selaku kompetitor terdekat Indonesia, bisa merakit 2 juta unit mobil, di mana setengahnya untuk kebutuhan ekspor.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Prospek dan Hambatan
Pemerintah Indonesia sadar betul bahwa industri otomotif ini harus diregulasi sedemikian rupa agar bisa tetap terus tumbuh dan memberikan keuntungan bagi ekonomi dalam negeri. Hal ini direalisasikan melalui pembakuan Peta Jalan (Roadmap) industri mobil nasional melalui Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 123 Tahun 2009.
Di sana, sejumlah target ditetapkan. Untuk jangka panjang, pemerintah menetapkan agar pelaku industri harus bisa membuat 4,1 juta unit pada 2025, di mana 1 juta unitnya diperuntukkan bagi pasar ekspor.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, tentu saja produksi harus diarahkan agar sesuai dengan kebutuhan pasar. Dalam hal ini sedan. Masalahnya, selama ini pasar otomotif tidak diarahkan untuk itu.
"Sejarah kebijakan industri otomotif Indonesia pada dasarnya bersifat intervensionis dan berorientasi pada pasar domestik... Tapi kebijakan-kebijakan tersebut malah mengisolasi perusahaan perakitan Indonesia dari kompetisi internasional," tulis Wasi Gede (dkk.) di buku Situasi Industri Otomotif.
Terutama sejak peluncuran Toyota Avanza pada 2003, segmen Multi Purpose Vehicle (MPV) tidak pernah lagi tergoyahkan. Ini semakin diperdalam dengan masuknya merek-merek lain seperti Suzuki Ertiga dan Honda Mobilio.
Terakhir penjualan MPV mencapai 40 persen dari total penjualan sepanjang 2016. Sementara sedan, berdasarkan data Frost & Sullivan, tahun lalu penjualannya hanya 13.700 unit, atau turun 21,4 persen ketimbang tahun sebelumnya. Hanya berkisar di angka satu persen dari total penjualan kendaraan.
Satu aspek yang paling mengganjal pertumbuhan sedan menurut para pemangku kepentingannya adalah beban pajak yang tinggi. Pajak sedan 30 persen, sementara yang lain 10 persen. Sedan dikenakan pajak yang tinggi karena dianggap barang mewah, padahal kenyataannya banyak mobil yang lebih mewah ketimbang sedan.
Dengan penurunan pajak, diharapkan pabrikan otomotif kembali bergairah memproduksi sedan. Ekspor juga bisa lebih kompetitif.
Rasio kepemilikan mobil juga perlu dibenahi. Di Indonesia, setiap seribu orang yang punya mobil hanya 80 orang. Sebagai pembanding, di Malaysia rasionya menyentuh 165/1.000, malah di Thailand mencapai 200/1.000.
Masalahnya, ini tidak bisa dilihat dari kacamata otomotif saja. Hal ini juga berkaitan dengan daya beli masyarakat secara umum. Berdasarkan data World Economic Outlook, April 2017, yang dikeluarkan IMF, pendapatan per kapita Indonesia hanya US$ 3,9 ribu per tahun, atau Rp 4 jutaan per bulan.
Sebagai pembanding, pendapatan per kapita Thailand US$ 6,27 ribu, Malaysia US$ 9,62 ribu. Malah Brunei menyentuh angka US$ 28,7 ribu.
Satu peluang lain yang sedang digalakkan pemerintah adalah menciptakan iklim yang memungkinkan tumbuhnya industri kendaraan ramah lingkungan. Agustus kemarin, bocor draft Peraturan Presiden yang menyebutkan bahwa pada 2025 nanti 20 persen penjualan mobil di Indonesia haruslah listrik.
Di sinilah pekerjaan rumah yang cukup berat, mengingat infrastruktur yang harus pemerintah sediakan. Mobil listrik mengharuskan adanya stasiun pengisian sebanyak mungkin. Tanpa itu, industri tidak akan bisa berkembang dengan baik.
Belum lagi visi soal energi bersih, yang secara saintifik masih jadi perdebatan. Di tingkat global, misalnya, beberapa pihak menganggap bahwa mobil listrik tidak pernah benar-benar bisa menyelamatkan lingkungan. Ia tidak pernah benar-benar “hijau”.
Seperti yang diungkapkan Rex Weyler, salah seorang pendiri Greenpeace International. Ia mencatat bahwa persoalan mobil listrik harus dilihat secara menyeluruh.
"Kita harus memperhitungkan semua biaya. Pembangkit listrik menghasilkan seperempat emisi gas buang global. Sebagian besar listrik (67 persen) diproduksi pakai batubara dan gas alam; 20 persen dari nuklir; sisanya karbon lain. Kita harus ingat bahwa teknologi yang disebut 'terbarukan' itu juga punya dampak sosial," katanya.
Hal ini sebetulnya sudah terjadi di Tiongkok. Seperti dilaporkan Bloomberg awal September lalu, meski Tiongkok adalah negara dengan populasi mobil listrik terbanyak, namun mereka masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil untuk mengoperasikan pabrik-pabrik mobil listrik ini.
Artinya, ketergantungan terhadap minyak tidak benar-benar bisa dilepas.
Advertisement
Soal Ketenagakerjaan
Satu aspek yang kurang dibahas ketika membicarakan industri otomotif adalah ketenagakerjaan. Paling-paling, hanya disebutkan bahwa ada 1,1 juta orang yang terlibat langsung di sana.
Ada beberapa aspek yang dibahas dari sisi ketenagakerjaan di sektor otomotif di buku Situasi Industri Otomotif. Salah satunya soal upah. Dalam hal ini, pekerja rata-rata menerima upah di atas Upah Minimum Kota (UMK).
Meski di atas UMK, namun sebagai catatan, "seorang buruh otomotif yang berpenghasilan di atas UMK tetap mempunyai kesulitan daya beli barang-barang primer konsumsi. Alokasi tabungan yang dimiliki sebagian disisihkan sebagai dana cadangan untuk menunjang kebutuhan keluarga luas, mulai dari biaya sekolah hingga biaya kekerabatan."
Bagaimana dengan jaminan lain? Disebutkan bahwa antara perusahaan yang menguasai pangsa pasar dengan yang tidak memberikan perlakuan yang berbeda terhadap pekerjannya. Perusahaan yang menguasai pangsa pasar akan lebih akomodatif, sementara yang sulit berkembang cenderung lebih menekankan efisiensi.
Meski kondisi upah relatif lebih baik ketimbang pekerja di sektor non-otomotif, tapi para pekerja di sektor otomotif tetap khawatir akan adanya pemutusan hubungan kerja, mengingat bisnis yang semakin terkoneksi satu sama lain antar negara.
Persaingan "memaksa" pabrikan memperbaiki teknik produksinya, salah satunya dengan penggunaan mesin-mesin yang semakin canggih, dimana pada gilirannya tidak membutuhkan lagi banyak orang untuk mengoperasikannya.
Kemudian disebutkan juga bahwa dalam praktiknya, sistem kerja kontrak dan outsourcing juga diterapkan pada bidang kerja yang terkait langsung dengan proses produksi. Sesuatu yang sebetulnya dilarang dalam UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Jumlah buruh kontrak mencapai 30 sampai 45 persen di beberapa perusahaan komponen, dengan tugas sebagai operator mesin dan finishing. "Jika kuota produksi tercapai dan perusahaan menurunkan tingkat produksi, maka mereka dirumahkan," tulis Situasi Industri Otomotif.