Liputan6.com, London - Kepolisian Inggris tengah memburu pelaku serangan di stasiun bawah tanah Parsons Green, London. Pihak keamanan mengatakan, mereka mengerahkan ratusan petugas untuk memeriksa CCTV.
Sebanyak 29 orang terluka dalam peristiwa yang terjadi pada 15 September 2017. Stasiun yang sempat ditutup sementara itu, kembali dibuka pada Sabtu 16 September.
Dikutip dari BBC, Sabtu (16/9/2017), Asisten Komisaris Kepolisian Metropolitan London, Mark Rowley, meminta publik untuk tetap waspada dan tak khawatir.
Baca Juga
Advertisement
Ledakan yang terjadi di jam sibuk itu membuat panik para penumpang. Mereka mendeskripsikan ledakan itu sebagai 'bola api'.
Saksi yang berada di lokasi kejadian mengaku melihat sejumlah korban terluka dan berlumuran darah pasca-ledakan di stasiun Parsons Green, dekat Fulham, London barat. Sejumlah saksi lain juga melihat kepanikan yang terjadi usai ledakan.
Richard Aylmer-Hall (53), konsultan media teknologi, diketahui tengah berada di sekitar lokasi kejadian ketika ia tiba-tiba merasakan kepanikan di sekelilingnya.
"Tiba-tiba ada kepanikan, banyak orang berteriak, menjerit. Ada seorang wanita yang mengaku ia melihat sebuah tas, sebuah kilatan, lalu terjadi ledakan."
"Saya melihat para wanita menangis, ada banyak teriakan, ada kekacauan di tangga yang mengarah ke jalan. Sejumlah orang terdorong dan terinjak. Saya melihat ada dua wanita yang mendapat perawatan ambulans," imbuh Aylmer-Hall.
Sebuah sumber penegak hukum Amerika Serikat mengatakan, perangkat peledak yang digunakan dalam serangan Parsons Green, London, adalah ember plastik putih dengan kain hitam di atasnya dan kabel yang menjuntai. Alat peledak itu dibawa dalam tas belanja yang tertutup rapat.
Diketahui bahwa terdapat timer atau alat pengatur waktu dalam perangkat peledak. Namun menurut koresponden keamanan BBC, bom tersebut tampaknya tak bekerja dengan benar -- sehingga ledakan yang dihasilkan tidak besar.
PM Inggris Meningkatkan Level Ancaman
Usai ledakan terjadi di Parsons Green, Perdana Menteri Inggris, Theresa May, meningkatkan level ancaman di negaranya dari parah menjadi kritis.
Keputusan May untuk menaikkan tingkat ancaman membuat tentara Inggris akan mengambil alih tugas-tugas tertentu yang biasanya dilakukan oleh polisi. Sebelumnya, Inggris berada di tingkat ancaman tersebut saat terjadi serangan di konser Ariana Grande di Manchester.
Sementara itu, ISIS mengklaim bertanggung jawab atas ledakan di Parsons Green. Dalam sebuah pernyataan di saluran resminya di aplikasi Telegram, kelompok tersebut mengatakan bahwa serangan itu dilakukan oleh detasemen ISIS.
Dalam pernyataan berikutnya, ISIS mengaku bawah penyerang berhasil menanam sejumlah alat peledak dan meledakkan salah satunya.
Meski demikian, polisi belum mengumumkan penemuan bahan peledak lain di Stasiun Parsons Green, London.
Inggris telah menjadi target tiga serangan teror mematikan sepanjang 2017. Sebanyak 33 orang tewas dalam teror tabrakan van dan serangan pisau di London Bridge dan Westminster Bridge yang terletak di jantung kota London, sementara satu lainnya adalah aksi bom bunuh diri sesaat setelah konser penyanyi pop dunia Ariana Grande di Manchester.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement