Liputan6.com, Jakarta Minggu dinihari 3 September 2017 lalu, Tiara Debora Simanjorang tiba-tiba demam. Suhu badan panas tinggi. Tanpa pikir panjang dengan sepeda motor kedua orangtuanya melarikan Debora ke Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat.
Kedua orangtuanya tanpa pikir panjang menggendong si kecil dengan menumpang sepeda motor dan memakai sandal yang tak lagi dipikirkan sang bunda.
Advertisement
Pukul 03.40 WIB mereka tiba di instalasi gawat darurat. Debora memang ditangani tim medis. Setelah diperiksa, tim dokter memutuskan Debora harus masuk picu. Biayanya hampir Rp 20 juta. Segera sang ayah melarikan sepeda motornya mengambil uang Rp 5 juta. Namun itu belum cukup. Debora tiba-tiba kritis jam 09.15 WIB hingga dua puluh menit berselang dia tutup usia.
Seperti ditayangkan Liputan6 Petang SCTV, Sabtu (16/9/2017), Rudianto Simanjorang dan Henny Maretta Silalahi mengadu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Pada hari yang sama, Dinas Kesehatan DKI Jakarta memanggil pengelola Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres.
Ada surat pernyataan yang ditandatangani direktur rumah sakit itu. Komitmen mengutamakan pelayanan terutama untuk pasien gawat darurat. Namun, rumah sakit dinilai lalai mencari rumah sakit rujukan untuk pasien BPJS.
Tak ingin hanya mendapat informasi dari satu pihak, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyambangi rumah Rudianto Simanjorang. Ternyata ada perbedaan keterangan. Atas keterangan berbeda ini Dinas Kesehatan kembali minta keterangan rumah sakit. Kali ini mereka menjemput bola.
Meski Debora sudah tenang di alam baka, keluarga tetap berniat mencari keadilan. Sejatinya sesuai Undang-Undang Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009, rumah sakit harus menjalankan fungsi sosialnya dengan baik. Tidak melulu mewajibkan administrasi keuangan ketimbang penyelamatan nyawa pasien gawat darurat. Pasien dan keluarga juga harus menyadari hak dan kewajibannya.