Liputan6.com, Jakarta Masyarakat mengeluhkan rencana pengenaan biaya top up uang elektronik (e-money). Selain dinilai memberatkan, hal ini juga tidak sejalan dengan upaya cashless society yang digalakkan Bank Indonesia dan pemerintah.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bima Yudistira mengaku tidak sepantasnya perbankan menjadikan bisnis e-money ini sebagai ladang mencari keuntungan.
Baca Juga
Advertisement
"Bisnis e-money sendiri bagi bank sudah sangat menguntungkan. Saat pelanggan membeli kartu e-money, di situ ada biaya yang dibebankan ke pelanggan. Misalnya dari awal kan masyarakat sudah bayar kartu e-money. Kita beli Rp 20 ribu e-money, saldo cuma dapet Rp 10 ribu. Uang hasil penjualan kartu sebenarnya tercatat sebagai fee based income bank," kata Bima kepada Liputan6.com, Sabtu (16/9/2017).
Dipaparkan Bima, pada 2016 nilai transaksi e-money mencapai Rp 7 triliun. Dengan mengasumsikan fee based income sebesar 5 persen, bank penerbit e-money sudah meraup untung Rp 350 miliar.
"Harusnya dengan keuntungan sebesar itu tidak perlu lagi memungut fee top up, meskipun hanya Rp 1.000 sekali transaksi top up karena dinilai memberatkan konsumen," dia menjelaskan.
Pengguna Kalangan Menengah ke Bawah
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi juga menolak rencana penerapan biaya top up uang elektronik tersebut.
Tulus meminta kepada Bank Indonesia (BI) untuk lebih berpihak kepada masyarakat menengah ke bawah, karena kalangan itulah yang selama ini menggunakan e-money.
"YLKI mendesak Bank Indonesia untuk membatalkan peraturan tersebut," tegas Tulus.
"Pengenaan biaya top up hanya bisa ditoleransi jika konsumen menggunakan bank berbeda dengan e-money yang digunakan. Selebihnya, harus ditolak," tutup dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement