Liputan6.com, Jakarta - Wali Kota Batu, Eddy Rumpoko kaget bukan kepalang saat tim penyidik KPK menggedor pintu rumah dinasnya di Jalan Panglima Sudirman, Nomor 98, Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Kala itu, ia tengah membersihkan diri di kamar mandi.
"Saya lagi mandi tiba-tiba diketuk. Terus langsung masuk aparat KPK," kata Eddy ketika tiba di gedung KPK, Jakarta, Minggu (17/9/2017) dini hari.
Advertisement
Rasa heran itu terus menggelayuti pikiran Eddy yang diminta ikut KPK ke Jakarta. Karena dalam operasi tangkap tangan, ia merasa sama sekali tidak menerima dan memegang barang bukti berupa uang.
"Saya enggak tahu duitnya darimana," ucap Eddy.
Selain itu, ia juga tak tahu, apakah dirinya dijebak dalam OTT ini atau tidak. "Enggak tahu. Saya dijebak atau enggak, saya enggak tahu," singkat Eddy sambil digiring masuk ke gedung KPK.
Setelah menjalani pemeriksaan, KPK akhirnya menetapkan Eddy sebagai tersangka. Dia diduga terlibat tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji, terkait proyek pengadaan mebel di Pemerintah Kota Batu tahun anggaran 2017. Proyek tersebut senilai Rp 5,26 miliar.
Selain Eddy, KPK juga menetapkan dua orang lainnya sebagai tersangka. Mereka adalah Kepala Bagian Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemkot Batu, Eddi Setiawan, dan pemilik Amarta Hills Hotel, Filipus Djap.
"Setelah melakukan pemeriksaan, KPK meningkatkan status tersangka terhadap tiga orang," ujar Wakil Ketua KPK Laode M Syarief dalam konferensi pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Minggu (17/9/2017).
Dari operasi senyap tersebut, tim penyidik KPK mengamankan uang sekitar Rp 300 juta. Uang Rp 200 juta diduga diterima Eddy Rumpoko. Adapun Rp 100 juta diberikan kepada Eddi Setiawan dari Filipus.
Sebagai terduga penyuap, Filipus diduga melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara itu, sebagai terduga penerima, Eddy Rumpoko dan Eddi Setiawan diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Ancaman penjara tentu menjadi mimpi buruk bagi Wali Kota Batu Eddy Rumpoko. Ia yang akan mengakhiri tugasnya pada 26 Desember 2017 harus rela menyudahinya dengan tragis serta su'ul khatimah.
Selanjutnya, tongkat kepemimpinan Wali Kota Batu akan 'diestafetkan' kepada istrinya, Dewanti Rumpoko, yang sudah terpilih dalam Pilkada serentak pada 15 Februari lalu untuk menggantikannya.
Pintu Masuk Bongkar Korupsi
Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno memastikan akan ada sanksi tegas bagi Wali Kota Batu, Malang, Eddy Rumpoko apabila terbukti bersalah atas operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Eddy sendiri tercatat sebagai Ketua DPC Kota Malang.ahkan ancaman pemecatan dari keanggotaan partai siap diberikan. "Iya kalau terbukti, itu sebabnya kami menunggu," kata Hendrawan saat dihubungi di Jakarta, Sabtu 16 September 2017.
Hendrawan mengatakan, partainya sudah berkali-kali mengingatkan seluruh kader agar tidak terlibat kasus korupsi.
"Ketua Umum PDIP (Megawati Soekarnoputri) menegaskan ideologi partai kita, politik kebangsaan, membangun peradaban, bukan politik korupsi. Jadi ideologi lebih diutamakan daripada naluri korupsi," tegas dia.
Menanggapi ancaman itu, Wali Kota Batu Eddy Rumpoko membantah tuduhan bahwa dia terlibat dalam kasus suap terkait proyek pengadaan Meja Kerja Staf dan Meja Kerja Eselon serta kursi hadap dan Sofa di Pemerintah Kota Batu Malang tersebut. Ia juga tidak takut apabila partainya, PDIP akan memberhentikannya secara tidak hormat.
"Saya enggak merasa bersalah," kata Eddy Rumpoko di gedung KPK, Jakarta, Minggu (17/9/2017) dini hari.
Kasus yang menjerat Wali Kota Batu Eddy Rumpoko ini diharapkan dapat menjadi pintu masuk dalam membongkar praktik korupsi di wilayah tersebut. Sebab banyak kasus penjahat kerah putih di Kota itu yang menguap begitu saja di tengah jalan.
“Ada beberapa kasus dugaan korupsi yang penanganannya berhenti pada aktor lapangan, tapi tak menyentuh aktor sesungguhnya,” kata Koordinator Badan Pekerja Malang Corruption Watch (MCW), Fachruddin, di Malang, Sabtu 16 September 2017.
Dia mencontohkan, penanganan kasus korupsi yang berhenti pada pelaku lapangan antara lain korupsi PT Batu Wisata Resources (PT BWR) senilai Rp 2 miliar, korupsi dana roadshow promosi pariwisata senilai Rp 3,7 miliar. Diduga dalam kasus itu Wali Kota Batu turut terlibat.
Selain itu, ada juga kasus dugaan korupsi proyek perkantoran terpadu Pemkot Batu atau Block Office senilai Rp 38 miliar yang saat ini ditangani Kejaksaan Tinggi, Jawa Timur. Ada juga kasus piutang pajak Jawa Timur Park Grup sebesar Rp 42 miliar yang diputihkan Wali Kota Batu menjadi Rp 2 miliar saja.
“Kami mendukung penuh pemberantasan korupsi di Kota Batu. Bahkan kami berharap seluruh kasus dugaan korupsi lainnya dibuka oleh KPK,” tegas Fachrudin.
Advertisement
Jangan Pandang Nominal
Walau terus digoyang, KPK tetap menunjukkan tajinya. Lembaga antirasuah itu terus gencar membersihkan 'tikus-tikus kantor' yang menggeroti anggaran negara. Para pejabat dan kepala daerah yang menggarong uang rakyat, satu per satu tak berkutik saat diciduk KPK.
Sebelum kasus yang menyeret Wali Kota Batu, KPK telah menggelendang Wali Kota Tegal Siti Masitha ke Jakarta. Dia ditangkap dan menjadi tersangka setelah diduga menerima suap terkait pengelolaan dana jasa kesehatan di RSUD Kardinah dan pengadaan barang jasa di lingkungan Pemerintahan Kota Tegal tahun anggaran 2017.
Dari catatan Liputan6.com, dalam dua bulan terakhir, sedikitnya ada 7 orang yang sudah digelendang ke Kuningan. Dari sini, KPK memberikan pesan khusus agar para pejabat bersikap waspada terhadap kebiasan memotong dana proyek sebesar 10 persen, seperti yang dilakukan Wali Kota Batu tersebut.
"Jadi 10% ini kelihatannya menjadi norma umum dari setiap anggaran pemerintah, termasuk yang sekarang dari Rp 5,26 miliar dimintai feenya sekitar Rp 500 juta," ujar Wakil Ketua KPK Laode.
Akibat anggaran disunat, kualitas dari proyek yang dibutuhkan itupun jauh dari harapan. Karena itu, KPK meminta agar semua pihak untuk tidak melihat nominal yang diamankan. Karena berapapun jumlahnya, itu akan merugikan bangsa.
"Jadi bagaimana menyelamatkan proyek yang besar itu agar bisa dinikmati oleh masyarakat. Karena yang rugi nanti akhirnya masyarakat secara umum," jelas dia.
Sikap KPK yang kerap menangkap para koruptor dengan barang bukti di bawah Rp 1 miliar acap diremehkan sebagian masyarakat. Lembaga antirasuah itu dianggap hanya berani melakukan OTT 'recehan'. Padahal bukankah hal besar berawal dari praktik yang kecil.
"Ada orng berkolusi akan memberi 10% dari proyek senilai 300 M atau 30 M. Saat bayar uang muka 50 juta di-OTT oleh KPK. Apakah itu ecek2?," tweet Mahfud MD dalam akun @mohmahfudmd.