Liputan6.com, Jakarta Badan Pengurus Pusat Gabungan Pelaksana Konstruksi Indonesia (BPP Gapensi) mengusulkan agar plafon proyek pemerintah yang tidak boleh digarap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan usaha besar naik dari Rp 50 miliar menjadi Rp 100 miliar.
Kenaikan ini dinilai ampuh untuk mendorong peran swasta di daerah untuk menggarap proyek infrastruktur, utamanya dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
“Kalau akhir-akhir ini ada hiruk pikuk minimnya peran swasta, itu memang ada benarnya. Plafon Rp 100 miliar ini sangat tepat untuk mendorong swasta dalam menggarap infrastruktur. Respons pemerintah sangat positif penerapannya tahun depan,” ujar Sekjen BPP Gapensi Andi Rukman Karumpa di Jakarta, Senin (18/9/2017).
Baca Juga
Advertisement
Andi mengatakan, sebelumnya, plafon nilai proyek pemerintah yang tidak boleh digarap perusahaan negara atau perusahaan besar adalah kurang dari Rp 50 miliar. Sebab itu, Gapensi telah mengusulkan kenaikan nilai plafon.
Dia menilai, plafon proyek Rp 100 miliar ini tidak saja mampu melindungi kontraktor lokal, tapi juga mempertegas segmentasi pasar konstruksi.
“Tentu plafon ini akan mempertegas implementasi dari segmen konstruksi nasional,” ujar dia.
Adapun segmentasi pasar konstruksi telah diatur dalam Perpres 54/2010 dan Permen PU Nomor 31 Tahun 2015. Keduanya mengatur segmentasi pasar proyek konstruksi, yakni usaha konstruksi kecil menggarap proyek pemerintah di bawah Rp 2,5 miliar, menengah-1 sebesar Rp 2,5 hingga Rp 50 miliar, menengah-2 sebesar Rp 50 miliar hingga Rp 100 miliar. Sedangkan besar dan asing menggarap proyek diatas Rp 100 miliar.
Sebagaimana diketahui sebelumnya perusahaan BUMN dilarang menggarap proyek konstruksi pemerintah di bawah Rp 50 miliar. Tujuannya untuk membuka kesempatan kepada pengusaha daerah untuk menjadi pelaku usaha di daerahnya sendiri.
Selain itu, kesepakatan antara Kementerian PUPR dan Kementerian BUMN ini ditujukan mempercepat pembangunan infrastruktur dan konektivitas daerah.
Tonton Video Pilihan Ini:
Cegah Kesenjangan
Dia mengatakan, plafon Rp 100 miliar dapat juga mencegah kesenjangan penguasaan pasar konstruksi antara usaha kecil, menengah, dan besar. Pasar konstruksi nasional masih dikuasai oleh segelintir perusahaan besar.
“Yang besar-besar tidak banyak tapi dia kuasai 87 persen pangsa pasar, sedangkan kontraktor lokal dan kecil-kecil hanya 6 persen,” ujar Andi.
Sebab itu, guna memperkecil kesenjangan pasar tersebut, perlu ditingkatkan plafon pasar yang tidak boleh digarap oleh BUMN dan usaha besar. Selain itu, kemitraan antara kontraktor kecil dan menengah dengan pengusaha besar harus naik.
“Kesenjangan ini harus segera diperpendek dengan regulasi sesuai dengan Nawacita. Tujuannya, untuk meningkatkan kemitraan antara kecil, menengah berupa kesempatan join operation dengan penyedia jasa kualifikasi dengan yang besar,” pungkas Andi.
Andi mengatakan, sektor konstruksi memiliki konstribusi signifikan pada pertumbuhan ekonomi, yakni sebesar 10,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional pada tahun lalu dan memiliki multiplier effect terhadap sektor lain.
Bahkan, pasar konstruksi Indonesia merupakan pasar konstruksi terbesar di Asia Tenggara dan nomor empat terbesar di Asia, setelah China, Jepang, dan India.
Pada 2017, pemerintah mengalokasikan total belanja infrastruktur secara nasional sebesar Rp 387 triliun dan sebesar Rp 101,4 triliun dikelola Kementerian PUPR.
Kementerian PUPR melakukan pelelangan dini sejak tahun lalu dan hasilnya hingga Januari 2017 sebanyak 2.768 paket telah terkontrak dengan nilai Rp 41,4 triliun.
Advertisement