Ingat, Beli Barang di Luar Negeri Ada Batasan Harganya

Masyarakat yang membeli barang di luar negeri mesti memahami ada batas harga yang dikenai bea masuk.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 18 Sep 2017, 15:30 WIB
Model memperlihatkan tas Hermes Birkin Himalayan Crocodile di Christies Hong Kong, 4 Mei 2017. Tas Hermes Himalaya ini memecahkan rekor sebagai tas tangan termahal setelah terjual seharga US$380 ribu (sekitar Rp5 miliar) dalam lelang. (ISAAC LAWRENCE/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat yang membeli barang di luar negeri mesti memahami ada batas harga yang dikenai bea masuk. Jika batas tersebut dilewati, masyarakat mesti membayar bea masuk tersebut.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Heru Pambudi menerangkan, batas harga barang yang dikenai bea masuk ialah US$ 250 atau sekitar Rp 3,31 juta (asumsi kurs Rp 13.252 per dolar Amerika Serikat) untuk personal dan US$ 1.000 atau sekitar Rp 13,25 juta untuk keluarga.

"Yang dipungut adalah dia beli dari luar negeri dan nilainya di atas dari threshold-nya. Untuk personal itu US$ 250, kalau keluarga US$ 1.000. Ketentuannya ini lama sudah beberapa tahun lalu," kata dia di Jakarta, Senin (18/9/2017).

Namun begitu, Heru menegaskan, bea masuk itu tidak dibayarkan petugas. Dia menuturkan, bea itu dibayarkan melalui mesin electronic data capture (EDC).

"Jangan lupa pembayaran bukan petugas, tapi EDC. Kalau dia bayar bukan cash tapi EDC," ujar dia.

Dia menuturkan, dengan begitu masyarakat tak perlu khawatir. Lantaran, pungutan itu langsung masuk ke kas negara.

"Jadi sebenarnya masyarakat tidak perlu khawatir pajak ke mana karena lari kas negara," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 


Sri Mulyani Ingin Satgas Bersihkan Oknum Kolusi Impor Barang

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Impor Berisiko Tinggi dalam rangka mengamankan penerimaan negara. Ditengarai hingga kini, oknum-oknum impor di pelabuhan maupun bandara sebagai pintu arus keluar masuk barang masih banyak berkeliaran.

Pembentukan satgas mendapat komitmen kuat dari Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Kepala Kepolisian Tito Karnavian, Jaksa Agung M Prasetyo, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Badaruddin, serta Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang.

Sri Mulyani mengungkapkan, impor berisiko tinggi memiliki peluang penyelewengan yang lebih besar, sehingga bisa mengakibatkan beredarnya barang-barang ilegal. Dengan penertiban impor berisiko tinggi, volume peredaran barang ilegal dapat menurun dan akhirnya mendorong perekonomian dalam negeri, serta mengoptimalkan penerimaan negara.

"Volume impor berisiko tinggi hanya 4,7 persen dari total jumlah volume impor di Indonesia. Tapi impor itu merusak tatanan ekonomi, merusak industri dalam negeri, menyebabkan persaingan usaha tidak sehat karena meski jumlahnya kecil, namun penetrasi ke dalam sistem cukup dalam dan rumit," tegas Sri Mulyani di Kantor Pusat DJBC, Jakarta, Rabu 12 Juli 2017.

Sri Mulyani mengatakan, total setoran bea masuk ke negara sebesar Rp 33 triliun. Target penerimaan negara di tahun ini sebesar Rp 1.750 triliun dan target penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.498 triliun.

"Jadi penerimaan kecil, tapi menimbulkan suatu persepsi sistem di Indonesia yang compromize. Pelaku ekonomi kita mencari oknum yang bisa digarap di Kementerian Keuangan dan Kejagung, Polri, dan lainnya," terangnya.

Selama ini, Sri Mulyani mengaku kesulitan menertibkan impor berisiko tinggi. Jenis barang yang masuk dalam impor berisiko tinggi, seperti tekstil, elektronik, dan minuman beralkohol.

Alasannya, karena ada oknum-oknum di Ditjen Bea Cukai, Kepolisian, Kejaksaan Agung, TNI yang saling melindungi satu sama lain sehingga penertiban impor barang berisiko tinggi kurang maksimal.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya