Liputan6.com, Beijing - China dan Rusia telah memulai latihan militer di dekat wilayah Korea Utara. Latihan ini digelar di tengah meningkatnya ketegangan nuklir di Semenanjung Korea.
Kantor berita Xinhua melaporkan bahwa latihan militer gabungan akan berlangsung di sekitar The Peter the Great Gulf, tidak jauh dari perbatasan Rusia-Korea Utara dan di bagian selatan Laut Okhotsk, di Jepang utara. Demikian seperti dikutip dari abc.net.au pada Selasa (19/9/2017).
Advertisement
Latihan militer tersebut merupakan bagian kedua dari latihan Rusia-China tahun ini. Tahap pertama berlangsung pada Juli lalu di Baltik. Laporan terkait latihan ini tidak secara langsung menghubungkan aktivitas militer tersebut dengan ketegangan di Semenanjung Korea.
Tidak disebutkan jenis, armada, dan jumlah personel yang dilibatkan dalam latihan militer tersebut.
Baik China dan Rusia telah berulang kali mendesak solusi damai terkait dengan krisis nuklir Korut.
Pada Jumat, 15 September, Korut diketahui melakukan uji coba rudal terbarunya. Rudal menengah jarak pendek Hwasong-12 tersebut terbang melintasi langit Jepang sebelum akhirnya jatuh di Samudra Pasifik.
Sebelumnya, tepatnya pada 3 September, Korut melakukan uji coba nuklir berupa bom hidrogen. Pyongyang mengklaim peluncuran rudal tersebut sukses.
Itu merupakan uji coba nuklir keenam Korut dan digadang-gadang yang terkuat yang pernah diluncurkan.
Merespons krisis nuklir Korut, Jerman mendesak untuk diadakannya pembicaraan langsung dengan Korut demi menyelesaikan kebuntuan yang terjadi.
Dalam menangani krisis nuklir Korut, Kanselir Jerman Angela Merkel merujuk pada metode perundingan nuklir Iran. Beda Jerman, beda pula Jepang. Perdana Menteri Shinzo Abe menegaskan bahwa jalur diplomasi tidak akan mempan dalam menghadapi Pyongyang.
Di lain kesempatan, seperti yang dilansir New York Times, PM Abe mengatakan bahwa masyarakat internasional harus tetap bersatu dan memberlakukan sanksi terhadap Korut.
Abe menegaskan bahwa uji coba rudal teranyar jelas-jelas melanggar resolusi DK PBB dan menunjukkan bahwa dengan misilnya, Korut dapat menargetkan Amerika Serikat atau Eropa. "Pyongyang akan melihat semakin banyak kita bicara sebagai bukti bahwa negara-negara lain menyerah dengan kesuksesan uji coba rudal dan nuklir mereka".
"Sekarang adalah waktunya untuk memberikan tekanan penuh terhadap Korut. Seharusnya tidak lagi ada penundaan," ungkap Abe.
Ancaman Trump Tidak Main-Main
Duta Besar PBB untuk Amerika Serikat Nikki Haley menyatakan, pihaknya telah kehabisan opsi untuk menghadapi Korea Utara melalui jalur diplomasi di PBB. Menurut Haley, tidak menutup kemungkinan pihaknya akan mengambil tindakan sendiri.
Dalam program "State of the Union" yang tayang di CNN, Haley mengatakan bahwa DK PBB tidak mampu mengekang program nuklir Korut. Opsi militer pun terbuka lebar.
"Pada titik ini, kami cukup lelah dengan berbagai hal yang telah kami lakukan di Dewan Keamanan. Kami mencoba setiap kemungkinan yang kami miliki, tapi seluruh opsi militer ada di atas meja," ujar Haley seperti dikutip dari news.com.au.
Diplomat perempuan berusia 45 tahun tersebut pun mengungkapkan bahwa ia sangat senang untuk menyerahkan urusan Korut ke Menteri Pertahanan AS James Mattis.
Haley juga menekankan bahwa ancaman Presiden Donald Trump yang akan mengirimkan "api kemarahan" ke Korut bukan sekadar gertakan.
"Jika Korut terus melakukan tindakan sembrono, sementara AS harus membela diri dan sekutunya, maka Korut akan hancur dan kita semua tahu tidak seorang pun menginginkan itu terjadi," ungkap Haley.
Baca Juga
Dilanjutkan Haley, "Tak satu pun dari kita menginginkan perang. Namun, kita juga harus melihat kenyataan bahwa Anda berurusan dengan seseorang yang sembrono, tidak bertanggung jawab, dan terus mengancam tidak hanya AS, namun seluruh sekutu. Jadi, sesuatu harus dilakukan".
Pernyataan Haley tersebut muncul setelah Trump, melalui akun Twitter pribadinya @realDonaldTrump menyebut pemimpin Korut sebagai "Rocket Man".
Trump sendiri dijadwalkan akan menghadiri dan berpidato dalam Sidang Majelis Umum PBB di New York yang akan berlangsung dalam pekan ini. Fokus utamanya diperkirakan adalah Korut dan Iran.
Advertisement