Warga Ujung Kulon Sebut Harimau Jawa sebagai Abah Gede

Abah Gede (Bapak Besar) yang melindungi hutan dari gangguan manusia yang merusak hutan.

oleh Yandhi Deslatama diperbarui 19 Sep 2017, 08:30 WIB
Hewan diduga harimau Jawa di padang penggembalaan Cidaon, Taman Nasional Ujung Kulon, Pandeglang, Banten. (Foto: Gabel, petugas Taman Nasional Ujung Kulon/Liputan6.com/Yandhi Deslatama)

Liputan6.com, Pandeglang - Penduduk di sekitar Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Kabupaten Pandeglang, Banten, percaya bahwa hewan diduga harimau Jawa yang sempat tertangkap kamera sedang memangsa banteng di wilayah Cidaon merupakan "Abah Gede" yang menjaga kondisi hutan lindung tersebut.

"Kepercayaan masyarakat terhadap harimau Jawa dianggap sebagai Abah Gede (Bapak Besar) yang melindungi hutan dari gangguan manusia yang melakukan kerusakan," ucap Hudan Zulkarnaen, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Ujung Kulon, saat dikonfirmasi Liputan6.com melalui pesan singkat, Senin, 18 September 2017.

Pemuda berkacamata yang telah menyelesaikan pendidikan sarjana ini bercerita bahwa terdapat pantangan di dalam lokasi TNUK, seperti tidak boleh buang air kecil dan minum berdiri, menantang alam, hingga mematahkan ranting atau kayu dengan tangan (harus pakai benda tajam).

"Maka jika etika itu dilanggar, biasanya diperingati oleh auman harimau, bahkan bisa didatangi," ia menjelaskan.

Adapun berdasarkan informasi terkini yang diperoleh Liputan6.com, foto hewan diduga harimau Jawa tersebut tertangkap pada 25 Agustus 2017, melalui sebuah video trap yang dipasang oleh Balai TNUK. Kamera tersebut mengambil gambar berdasarkan sensor gerak.

Kucing besar berloreng bernama Latin Panthera tigris sondaicus itu sedang memangsa banteng di padang pengggembalaan Cidaon. Hewan besar pemangsa daging itu diduga berjenis kelamin jantan dan berusia muda yang diperkirakan memiliki keluarga.

Masyarakat Sunda kerap menyebut harimau Jawa dengan Lodaya dan sering mengaku berjumpa dengan hewan buas tersebut. Akhirnya, Balai TNUK memasang camera trap di perbukitan Gunung Payung, namun yang terekam hanya rusa, kijang, kancil hingga babi hutan.

Karena penasaran, Balai TNUK pun membentuk tim guna menyisir di sekitar lokasi terlihatnya hewan diduga harimau Jawa yang sedang memangsa banteng, dimulai dari lokasi penemuan di Cidaon, Pulau Peucang, Gunung Payung, dan perbukitan Talanca. Namun, petugas baru menemukan kotoran, cakaran, serta rambut yang kemudian dianalisis untuk memastikan keberadaan harimau Jawa.

Saksikan video pilihan berikut ini:


Sering Muncul Jelang Bulan Maulid

Foto harimau Jawa yang diambil pada tahun 1938 di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. (Foto: Istimewa/Wikipedia)

Sebelumnya, kabar kemunculan hewan diduga harimau Jawa di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Kabupaten Pandeglang, Banten, menyedot perhatian banyak kalangan, terutama kelompok ataupun pemerhati satwa langka. Sejauh ini, TNUK telah menerjunkan tim untuk melacak keberadaan hewan karnivora bernama Latin Panthera tigris sondaica.

Perhatian besar itu wajar mengingat International of Conservation for Nature (IUCN) telah menyatakan harimau Jawa punah sejak 1970. Namun, tidak bagi masyarakat di Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, yang merupakan penduduk asli Ujung Kulon.

Mereka meyakini kucing besar penguasa rimba itu belum punah, bahkan kerap mendatangi perkampungan pada waktu tertentu.

"Apalagi menjelang bulan Maulid (Maulid Nabi Muhammad SAW), biasanya beberapa rumah didatangi harimau," ucap Huddan Zulkarnaen selaku Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) TNUK, saat dikonfirmasi Liputan6.com melalui pesan singkat, Jumat, 15 September 2017.

Beberapa warga mengungkapkan bahwa mereka hanya mendengar suara auman harimau Jawa. "Enggak menampakkan secara langsung, kayak ada di halaman atau di belakang rumah warga," ujar Huddan Zulkarnaen.

Harimau Jawa telah lama dinyatakan punah. Pada tahun 1970, International of Conservation for Nature (IUCN) menaikkan status harimau Jawa dari level sangat rentan (critical endangered) ke level punah (extinct).

Status kepunahan harimau Jawa itu pun kembali diperkuat tahun 1980. Kendati demikian, dekade 1990-an, ada beberapa laporan tentang keberadaan hewan berloreng itu di sejumlah tempat di Pulau Jawa, walaupun hal itu tidak dapat diverifikasi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya