Bangun 245 Proyek Infrastruktur, Pemerintah Harus Hadapi Makelar

Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) berambisi membangun 245 Proyek Strategis Nasional (PSN) dan 2 Program hingga 2019.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 19 Sep 2017, 12:07 WIB
Pekerja tengah mengerjakan proyek pembangunan infrastruktur di Jakarta, Senin (18/9). Upah riil buruh bangunan naik 0,41 persen dari Rp 64.674 pada Juli 2017 menjadi Rp 64.939 pada Agustus 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) berambisi membangun 245 Proyek Strategis Nasional (PSN) dan dua Program hingga 2019 dengan kebutuhan pendanaan sekitar Rp 4.700 tiliun.

Namun faktanya, masih ada hambatan untuk mewujudkan proyek infrastruktur, mulai dari makelar tanah, pengadaan yang lelet, sampai kurang optimalnya penyerapan dana oleh pemerintah daerah (pemda).

Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan, Hadiyanto mengungkapkan, pemerintah berupaya mengejar pembangunan 245 proyek strategis nasional, antara lain jalan, jembatan, pelabuhan, jalur kereta, bandara, irigasi, bendungan, proyek energi, dan 2 program, yaitu listrik 35 ribu Megawatt (Mw) serta pengembangan industri pesawat.

"Total biaya yang dibutuhkan sekitar Rp 4.700 triliun sampai dengan 2019. Pendanaan infrastruktur terus meningkat setiap tahun, dan pada 2018 dianggarkan Rp 409 triliun," tuturnya dalam acara Seminar Nasional Pengadaan Tanah di kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa (19/9/2017).

Asal tahu, jumlah alokasi anggaran Rp 409 triliun di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) naik dibanding APBN Induk 2017 sebesar Rp 387,3 triliun dan Rp 401,1 triliun di APBN Perubahan 2017.

"Jumlah ini besar untuk satu RAPBN yang masih bergelut dengan tantangan penerimaan. Tapi ini komitmen pemerintah untuk mengejar ketertinggalan karena proyek-proyek infrastruktur mangkrak di tahun-tahun lalu sudah mulai bergerak, salah satunya proyek SPAM Umbulan," jelas Hadiyanto.

Sayangnya, Hadiyanto mengakui masih ada hambatan pemerintah dalam membangun ratusan proyek infrastruktur. Pertama, tidak adanya konektivitas antara dana yang dimiliki pemerintah daerah dengan rencana pembangunan infrastruktur yang mengakibatkan dana banyak mengendap di bank.

Sebagai contoh, Dana Alokasi Khusus (DAK) infratruktur pada 2016 hanya terserap 75 persen. Sedangkan untuk transfer ke daerah dan dana desa (DAK, dana desa untuk infrastruktur, dan dana transfer umum untuk infrastruktur) pada tahun depan dialokasikan Rp 182,8 triliun dari total anggaran Rp 409 triliun.

"Masih ada daerah yang membuat uang infrastruktur ini iddle dan hanya disimpan di bank. Jadinya kan tidak tersalurkan untuk sektor riil, sehingga ini menjadi tantangan daerah supaya mendorong pembangunan infrastruktur," tambah Hadiyanto.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Selanjutnya

Ia menuturkan, hambatan kedua, proses pengadaan yang beralurt-larut mengakibatkan pembengkakan biaya. "Ada makelar tanah yang tahu pemda bakal bikin proyek apa, lalu langsung tanah di kavling-kavling dengan harga mahal," ucap mantan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu itu.

Hambatan terakhir, lanjut Hadiyanto, perencanaan pembangunan yang kurang matang mengakibatkan sasaran pembangunan menjadi kurang tepat.

Dari beberapa hambatan tersebut, dia memberikan solusi supaya proyek infrastruktur tetap berjalan, yakni melibatkan penilai publik atau penilai pemerintah dalam perencanaan pembangunan infrastruktur.

"Kaitan penilai publik atau penilai pemerintah ini untuk estimasi nilai tanah yang akan dibebaskan sehingga penganggaran akan lebih baik. Solusi lain, analisis highest and best use (HBU), feasibility study, dan pemanfaatan aset," ujar Hadiyanto.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya