Pengusaha Minta Pemerintah Tetap Berlakukan Aturan Asas Cabotage

Indonesia bukan satu-satunya negara yang memberlakukan asas cabotage

oleh Nurmayanti diperbarui 19 Sep 2017, 20:16 WIB
Peluang industri galangan kapal dinilai sangat terbuka mengingat didorong kebijakan azas cabotage sehingga meningkatkan jumlah kapal.

Liputan6.com, Jakarta Pengusaha pelayaran meminta pemerintah tetap menerapkan kebijakan asas cabotage karena dinilai sukses menjaga kedaulatan negara dari aspek keamanan dan pertahanan sekaligus mendorong pertumbuhan perekonomian nasional.

Ketua Umum Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Carmelita Hartoto mengatakan asas cabotage yang dikeluarkan pemerintah pada 2005 disambut baik para pelaku usaha pelayaran nasional.

Hasilnya, kebijakan pemerintah yang didukung peran pelaku usaha menjadikan industri pelayaran nasional terus mengalami pertumbuhan pesat hingga saat ini. “Investasi di sektor pelayaran dan industri terkait lainnya terus melonjak sejak diterbitkannya asas cabotage hingga saat ini,” jelas dia dalam keterangannya, Selasa (19/9/2017).

Asas cabotage bermakna pada kedaulatan negara (sovereign of the country) terkait peran sektor transportasi laut dalam menjaga keamanan dan pertahanan negara dari kemungkinan serangan oleh negara asing.

Pelayaran nasional memiliki sejarah panjang dalam menjaga kedaulatan negara. Sejarah mencatat, para pelaku usaha pelayaran niaga nasional bersama TNI AL berperan membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda. Saat itu, berbagai jenis kapal niaga nasional dikerahkan untuk memobilisasi kekuatan.

Menurut Undang-undang Nomor 03/2002 tentang Pertahanan Negara disebutkan bahwa armada niaga nasional sebagai komponen pertahanan negara yang dapat dimobilisasi jika negara dalam keadaan bahaya.

Armada pelayaran nasional memiliki kekuatan yang cukup besar dalam menjaga kedaulatan negara. Asas cabotage tertuang dalam Inpres 5/2005 dan Undang-undang 17/2008 tentang Pelayaran.
 
Asas cabotage menegaskan angkutan laut dalam negeri menggunakan kapal berbendera merah putih, dan diawaki awak berkebangsaan Indonesia. Kebijakan ini tidak hanya diterapkan di Indonesia.

Indonesia bukan satu-satunya negara yang memberlakukan asas cabotage, melainkan beberapa negara lain bahkan telah lebih dulu menerapkan asas cabotage seperti, Amerika Serikat, Brazil, Kanada, Jepang, India, China, Australia, Phillippina dan sebagainya.

Armada kapal nasional melonjak dari  6,041 unit pada 2005 menjadi 24,046 unit pada 2016 yang terdiri dari armada angkutan laut pelayaran dan angkutan laut khusus. Total kapasitas angkut meroket dari 5,67 juta GT pada 2005 menjadi 38,5 juta GT pada 2016. Hal ini juga seiring pertumbuhan jumlah perusahaan pelayaran nasional yang terus terjadi.




Layani Kargo Domestik

Sekretaris Umum INSA Budhi Halim mengatakan, dengan kekuatan yang cukup besar, pelayaran nasional juga telah mampu melayani seluruh pendistribusian kargo domestik. Pada 2016, seluruh distribusi kargo domestik sudah terlayani oleh kapal nasional dari total kargo 621 juta ton pada 2016.

Dalam Undang-undang No 17/2008 tentang Pelayaran pada pasal 8 poin satu disebutkan kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.

Sedangkan poin dua pada pasal yang sama menyatakan, kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau atau antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia.

Pada pasal 56 disebutkan, pengembangan dan pengadaan armada angkutan perairan nasional dilakukan dalam rangka memberdayakan angkutan perairan nasional dan memperkuat industri perkapalan nasional yang dilakukan secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait.

Pada pasal 57 menerangkan pemberdayaan industri angkutan perairan nasional sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 wajib dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan fasilitas pembiayaan dan perpajakan, memfasilitasi kemitraan kontrak jangka panjang antara pemilik barang dan pemilik kapal, dan memberikan jaminan ketersediaan bahan bakar minyak untuk angkutan di perairan.

Perkuatan industri perkapalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 wajib dilakukan oleh Pemerintah dengan menetapkan kawasan industri perkapalan terpadu, mengembangkan pusat desain, penelitian, dan pengembangan industri kapal nasional, mengembangkan standardisasi dan komponen kapal dengan menggunakan sebanyak-banyaknya muatan lokal dan melakukan alih teknologi, mengembangkan industri bahan baku dan komponen kapal.

Selain itu,  memberikan insentif kepada perusahaan angkutan perairan nasional yang membangun dan/atau mereparasi kapal di dalam negeri dan/atau yang melakukan pengadaan kapal dari luar negeri, membangun kapal pada industri galangan kapal nasional apabila biaya pengadaannya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, membangun kapal yang pendanaannya berasal dari luar negeri dengan menggunakan sebanyak-banyaknya muatan lokal dan pelaksanaan alih teknologi; dan memelihara dan mereparasi kapal pada industri perkapalan nasional yang biayanya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
 
Berdasarkan hal itu, kata Budhi, setiap kebijakan yang dikeluarkan baik di tingkat pusat maupun daerah yang berkaitan dengan transportasi laut harus mengedepankan kebijakan asas cabotage, terutama yang terkait perbaikan iklim investasi ataupun kemudahan berbisnis.
 
“Asas cabotage adalah bentuk kedaulatan negara dan mandatory atau bersifat wajib untuk negara. Asas cabotage Selain telah memberikan dampak yang signifikan pada investasi di bidang pelayaran dan sektor terkait lainnya, juga menjadi penjaga kedaulatan negara. Ini yang perlu kita jaga bersama untuk Indonesia.”

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya