Liputan6.com, Pandeglang - Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) akan menggelar peringatan Hari Badak Internasional yang berlokasi di Cilintang, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Banten. Lokasi tersebut terdekat dengan habitat asli badak Jawa bercula satu yang kondisinya sudah sangat langka.
"Mengangkat isu-isu penting dalam upaya pelestarian badak Jawa," ucap Monika selaku Humas Balai TNUK, melalui pesan singkat kepada Liputan6.com, Rabu (20/9/2017).
Menurut dia, Taman Nasional Ujung Kulon merupakan satu-satunya habitat bagi populasi badak Jawa atau Rhinoceros sondaicus yang tersisa saat ini.
Adapun acara yang digelar pada 22-24 September 2017, hanya dikhususkan bagi komunitas pencinta alam dan jurnalis untuk lebih mengetahui kehidupan badak bercula satu dan perkembangbiakannya.
Baca Juga
Advertisement
Dengan demikian, imbuh Monika, mereka diharapkan dapat memberikan masukan mengenai menjaga keberlangsungan kehidupan hewan yang masih bergantung pada perkembanganbiakan alami.
"Pengendalian dilakukan dengan cara melakukan penanaman jenis-jenis tumbuhan pakan badak Jawa di area pengendalian," ia menjelaskan.
Mengambil tema "Di Ujung Cula Badak Jawa", diharapkan dapat mendorong semua lapisan masyarakat ikut melestarikan keberadaan badak bercula satu yang kini hanya ada di Ujung Kulon, Kabupaten Pandeglang, Banten.
Tema ini menggambarkan kondisi kritis upaya konservasi badak Jawa. "Namun, akan selalu ada harapan untuk keberhasilan. Demikian pula dengan upaya konservasi badak
Jawa," Monika memungkasi.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Tersisa Sekitar 60 Ekor
Dilansir laman resmi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), taman nasional seluas 122.956 hektare itu memiliki beragam jenis satwa liar, baik bersifat endemik maupun penting untuk dilindungi. Secara umum kawasan ini masih mampu menampung perkembangbiakan berbagai populasi satwa liar.
Beberapa jenis satwa endemik penting dan merupakan jenis langka yang sangat perlu dilindungi adalah badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), owa Jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis aigula), dan anjing hutan (Cuon alpinus javanicus).
Boleh dibilang, Semenanjung Ujung Kulon pada saat ini merupakan habitat terpenting dari badak Jawa, yang populasinya diperkirakan ada 50-60 ekor. Ujung Kulon juga dianggap satu-satunya tempat di dunia di mana secara alami badak Jawa mampu berkembang biak pada dekade terakhir ini.
"Badak Jawa termasuk ke dalam golongan binatang berkuku ganjil atau Perrisdactyla, mempunyai kulit tebal berlipat-lipat seperti perisai dari bahan tanduk. Alhasil, satwa ini kelihatan seperti bongkah batu yang besar dan tubuhnya lebih besar dari Badak Sumatera (Dicerorhinus sumetrensis)," seperti tertulis di laman resmi Taman Nasional Ujung Kulon.
Berdasarkan catatan TNUK, cula badak Jawa jantan biasanya lebih besar dari betinanya, di mana cula badak Jawa betina hanya berupa tonjolan di atas kepalanya. Tinggi rata-rata badak Jawa antara 140-175 centimeter.
Sedangkan panjang badannya 300-315 cm, ada pula yang pernah ditemukan dengan panjang mencapai 392 cm. Tebal kulitnya 25-30 mm, lebar kaki rata-rata 27-28 cm dan beratnya sekitar 2.300 kilogram.
Panjang cula diukur mengikuti lengkungnya bisa mencapai 48 cm. Penglihatan badak Jawa tidaklah tajam, tapi pendengarannnya maupun penciumannya sangat tajam.
Badak dapat mengetahui adanya bahaya atau musuh yang akan datang walaupun sesungguhnya bahaya atau musuh itu masih terpaut jarak jauh dengan badak tersebut.
"Kadang-kadang badak sanggup untuk menempuh jarak 15-20 km dalam sehari, tetapi sebaliknya sering berada beberapa hari dalam daerah yang tidak lebih dari 0,5 km persegi," demikian tertulis dalam laman resmi TNUK.
Advertisement
Ancaman Alamiah
Adapun populasi badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, merujuk data organisasi lingkungan hidup WWF Indonesia, setiap tahun bertambah.
"Selama tiga tahun menunjukkan ada penambahan populasi walaupun tidak banyak, tapi cukup menjanjikan," kata Pemimpin Proyek WWF Indonesia di Ujung Kulon, Yuyun Kurniawan, saat ditemui di Ujung Kulon, dilansir Antara, Sabtu, 30 Juli 2016.
Berdasarkan pantauan WWF Indonesia dengan kamera trap, populasi badak Jawa berjumlah 57 ekor pada 2014. Jumlah tersebut bertambah menjadi 60 pada tahun berikutnya dan kini ada sekitar 63 ekor.
Yuyun tidak mengetahui pasti berapa perbandingan antara badak jantan dan betina, tapi ia memperkirakan jumlahnya kini didominasi oleh pejantan. Meskipun jumlah badak bertambah, dari segi spasial pertumbuhan populasi perlu menjadi perhatian karena luas lahan tidak bertambah.
Salah satu yang menjadi ancaman dalam pertumbuhan badak Jawa adalah spesies invasif terhadap tanaman pakan. Yuyun menceritakan ada tanaman dalam bahasa setempat disebut langkap, menutupi cahaya matahari sehingga pertumbuhan tanaman pakan badak terhambat. Kesejahteraan badak terhambat bila pakan berkurang.
Selain itu, karena badak Jawa di lokasi tersebut merupakan populasi tunggal, in-breeding atau perkawinan sedarah menjadi kekhawatiran karena dapat menimbulkan masalah genetik. Peluang untuk kawin sedarah menurut Yuyun cukup besar karena semua populasi tinggal di tempat yang sama.
Menjaga Populasi
Untuk menjaga kualitas, WWF Indonesia bersama Taman Nasional Ujung Kulon harus memastikan setiap badak terpantau dengan baik dengan kamera trap.
Untuk mengatasi tanaman invasif, mereka melakukan analisis baik melalui satelit maupun lapangan untuk memetakan wilayah mana saja yang terpapar langkap dan di mana tempat badak hidup. "Jangan sampai kita melakukan pengendalian justru merugikan badak, misal jadi stres," ucap Yuyun.
Sementara itu, untuk mengatasi in-breeding adalah dengan menguji genetik untuk mengetahui sejauh mana hubungan antarindividu. Individu yang memiliki rentang hubungan darah paling jauh memungkinkan untuk ditempatkan di kantung yang sama.
Yuyun menjelaskan perburuan liar badak Jawa cenderung tidak ada selama beberapa tahun belakangan. Selain mengecek melalui kamera trap secara berkala, pihaknya bersama organisasi lain yang mendapat izin dari taman nasional untuk berpatroli.