Pidato Aung San Suu Kyi Tuai Kritikan Pemimpin Dunia

Aung San Suu Kyi buka suara dalam sebuah pidato di tengah krisis kemanusiaan Rohingya. Namun, pidatonya tersebut justru menuai kritik dunia.

oleh Citra Dewi diperbarui 20 Sep 2017, 16:31 WIB
Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi menyampaikan pidato nasional terkait Rohingya di Naypyidaw (19/9). Dalam pidatonya, ia menjelaskan bahwa Pemerintah Myanmar tidak lari dari tanggung jawab. (AFP Photo/Ye Aung Thu)

Liputan6.com, Naypyidaw - State Counsellor Myanmar, Aung San Suu Kyi, pada 19 September 2017 akhirnya buka suara di tengah krisis kemanusiaan yang sedang dialami negaranya melalui sebuah pidato.

Dalam pidato perdamaian dan rekonsiliasi nasional itu, Suu Kyi mengatakan bahwa tak terjadi bentrokan atau operasi pembersihan etnis di Rakhine sejak 5 September. Negara bagian itu adalah rumah bagi warga Muslim Rohingya.

Dikutip dari BBC, Rabu (20/9/2017), Suu Kyi menyebut bahwa sebagian besar warga muslim memutuskan untuk tinggal. Hal itu, menurut dia, adalah indikasi bahwa situasi di sana tidak begitu parah.

Perempuan berusia 72 tahun itu pun mengatakan bahwa pemerintahnya telah melakukan sejumlah upaya dalam beberapa tahun terakhir untuk memperbaiki kondisi kehidupan semua orang di Rakhine, termasuk warga muslim.

Suu Kyi juga mengatakan, seluruh pengungsi dapat kembali ke Myanmar setelah melalui proses verifikasi. Namun, dalam pidatonya, ia sama sekali tak menyebut soal peran militer dalam krisis kemanusiaan.

Pemimpin de facto Myanmar itu juga tak membahas soal pembersihan etnis, persoalan yang jadi sorotan dunia -- bahkan, ia tak secara gamblang menyebut Rohingya dalam pidatonya.

Banyak pihak, yang telah menanti momen buka suara Suu Kyi itu, dibuat kecewa. Kekecewaan itu juga dialami oleh sejumlah pemimpin dan diplomat dari sejumlah negara.

Dalam sebuah pembicaraan melalui telepon dengan Aung San Suu Kyi, Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson menyambut baik pernyataan bahwa pengungsi dapat kembali ke Myanmar setelah diverifikasi. Namun, Tillerson mendesak Suu Kyi untuk memfasilitasi bantuan kemanusiaan dan menangani tuduhan pelanggaran HAM dan kekerasan.

Sementara itu kepada Majelis Umum PBB, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan bahwa operasi militer di Myanmar harus dihentikan. Ia juga menyerukan adanya penjaminan akses kemanusiaan dan memulihkan perturan hukum untuk menghadapi persoalan, yang disebut masyarakat luas sebagai pembersihan etnis.

 


Kritik dari Sekjen PBB

Selain mendapatkan kritik dari AS dan Prancis, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres mendesak Myanmar untuk mengakhiri operasi militernya. Ia juga meminta agar mengakhiri penderitaan warga Rohingya, yang statusnya dibiarkan tak terselesaikan terlalu lama.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyerukan masyarakat internasional untuk bertindak terhadap krisis kemanusiaan tersebut.

"Jika tragedi yang terjadi di Myanmar tak terhenti, umat manusia harus hidup dengan rasa malu karena ada noda gelap lain dalam sejarahnya," ujar Erdogan.

Sementara itu seorang juru bicara Uni Eropa mengatakan, undangan Suu Kyi untuk perwakilan internasional untuk mengunjungi daerah-daerah yang terdampak -- sebelumnya dikesampingkan pemerintah -- dinilai sebagai langkah maju.

Namun ia mengatakan bahwa Myanmar perlu menunjukkan bahwa demokrasi yang mereka perjuangkan harus berlaku untuk semua rakyat Myanmar, melampaui batas etnis, sosial, dan agama.

Perdana Menteri Inggris Theresa May juga megatakan bahwa tindakan militer di Rakhine harus dihentikan. Inggris pun menangguhkan pelatihan untuk militer Myanmar sehubungan dengan kekerasan tersebut.

Sementara itu Amnesty Internasional menyebut bahwa pidato Suu Kyi tak lebih dari gabungan kebohongan dan menyalahkan korban. Pihaknya juga menuduh Suu Kyi tak menghiraukan realita yang ada dengan mengabaikan pelanggaran militer.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya