Liputan6.com, Jakarta - Berbagai perusahaan dunia maupun lokal bertumbangan seiring menderunya gelombang revolusi digital. Tak pelak, cara konsumen membeli barang atau jasa pun berubah. Perusahaan raksasa yang tak mampu bertahan menghadapi serbuan teknologi itu termasuk Kodak, Disc Tarra, Payless Gymboree, dan yang terbaru, Toys'R'Us.
Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali, menjelaskan perusahaan-perusahaan tersebut runtuh karena tidak bisa membaca tren di luar. "Mereka tidak bisa membaca sinyal perubahan pada tahap dini," tuturnya saat berbincang dengan Liputan6.com, Rabu, 20 September 2017.
Perusahaan-perusahaan itu berpikir semua berlangsung seperti biasanya dan bakal tumbuh selamanya. Jika ada yang tak beres, yang dicari adalah kambing hitam. Yang jadi sasaran biasanya manajer penjualan, konsultan bisnis, atau kebijakan pemerintah.
Baca Juga
Advertisement
Padahal sebenarnya, sumber kejatuhan bukan berasal dari luar, tapi dari dalam.
Rhenald menjelaskan, situasi sekarang sudah sangat berbeda. Di luar sedang terjadi proses gangguan (disruption) terhadap jalannya bisnis. Dan gangguan ini mirip puncak gunung es yang tengah mencair.
Puncak gunung es tersebut adalah internet of things (IOT) yang akan menghantam banyak sektor bisnis yang tak berjalan stagnan. "Mulanya menghantam industri musik seperti Disc Tarra, lalu masuk ke media, perusahaan taksi, transportasi laut dan udara, ritel, traveling, perhotelan, mainan anak, medikal, pendidikan, dan kini perbankan," kata Rhenald.
Toys'R'Us menjadi contoh terbaru perusahaan yang terkena disruption. Toko ritel penjual mainan global ini--yang memiliki jaringan 1.600 toko di 38 negara--tumbang dan tengah mengajukan perlindungan dari kebangkrutan.
CEO Toys'R'US David Brandon menjelaskan, salah satu penyebab ambruknya jaringan toko yang memiliki 64 ribu pegawai ini adalah hantaman toko ritel online seperti Amazon.com, peritel online terbesar di Amerika Serikat.
Saat ini Rhenald sedang melakukan riset dengan Universitas Cambridge. Dalam riset tersebut, meskipun masih belum sampai tahap kesimpulan, sudah bisa terlihat indikasi bakal ada sektor-sektor lain di luar ritel yang bakal terdampak gelombang digitalisasi.
Salah satunya adalah perbankan. "Kantor-kantor cabang akan tutup, teller akan hilang, bisnis remittance dan pembayaran akan pindah, kredit juga akan beralih," tutur dia.
Industri pendidikan pun juga akan terpengaruh. Kampus mulai digantikan online learning. "Kampus di Inggris dan Amerika Serikat bisa bertahan karena mahasiswa yang datang dengan beasiswa yang dikirim negara berkembang," dia menambahkan.
Selain itu, yang sudah nyata terlihat dampaknya adalah bisnis transportasi, terutama taksi. Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta Shafruhan Sinungan menyatakan, jumlah perusahaan taksi turun drastis. Dari 35 perusahaan di Jakarta, kini hanya tinggal empat yang masih aktif mengoperasikan armadanya.
Mereka klenger ditabrak perusahaan transportasi online, seperti Uber, Grab dan Gojek.
"Ritmenya memang begitu. Misalnya ketika muncul email, telegram punah," kata pengamat telematika Teguh Prasetya, menambahkan.
Membongkar Pola Pikir Konvensional
Rhenald menjelaskan, agar bisa bertahan, perusahaan harus mengganti cara kerja secara revolusioner. Perubahan yang dibutuhkan bukan hanya mampu terkoneksi secara online dengan pasar, tapi juga harus membongkar struktur biaya dan bentuk bisnis mereka.
"Bisa berkolaborasi dengan bisnis baru yang sudah jadi atau mulai jadi di pasar. Cari pola kolaborasi yang bisa memangkas biaya," dia menyarankan.
Pendiri "Rumah Perubahan" ini juga merekomendasikan perusahaan untuk melatih seluruh eksekutif mereka agar membongkar pola pikir konvensional.
"Jangan lupa melakukan refokus segmen, periksa di mana segmen yang masih terbuka dan tercipta dalam waktu cepat, mana yang sudah ditinggalkan dan mana yang mengecil. Reformulasikan kembali strategi."
"Teknologi itu jangan dimusuhi, tapi diikuti," Teguh Prasetya menambahkan.
Advertisement
Tumbangnya Para Raksasa
Berikut ini daftar perusahaan-perusahaan besar yang tak mampu bertahan menghadapi gelombang revolusi digital:
1. Toys'R'Us
Perusahaan ritel mainan ternama di AS ini baru saja mengajukan permohonan perlindungan dari kebangkrutan di tengah upayanya merestrukturisasi utang. Ini menjadi contoh kesekian dari kolapsnya berbagai toko ritel konvensional akibat anjloknya frekuensi pengunjung yang kini lebih suka berbelanja online.
GlobalDataRetail memperkirakan pada 2016 sekitar 13,7 persen dari semua penjualan mainan dilakukan secara online, naik dari angka 6,5 persen pada lima tahun lalu.
Untuk bersaing dengan tumbuhnya peritel online seperti Amazon.com, Toys'R'Us dipaksa memangkas harga untuk membuat konsumen tetap datang ke toko mereka.
2. Kodak
Pada 1888 sebuah produk kamera meluncur ke pasar Amerika Serikat. Diberi nama "Kodak", produk ini dibuat oleh seorang pria yang tak lulus SMA bernama George Eastman.
Kala itu Kodak langsung laris manis di pasaran. Kamera Kodak diproduksi massal sebanyak 100 ribu unit pada 1896. Eastman juga memproduksi kertas foto dan gulungan film sepanjang 400 mil per bulan.
Sayangnya, Kodak tidak sigap mengikuti tren digital dan malah memilih mempertahankan model bisnis yang kukuh mengagungkan kamera film.
Akhirnya pada 19 Januari 2012--124 tahun setelah didirikan--raksasa yang kelelahan itu pun roboh. Kodak pada hari itu mengajukan permohonan perlindungan kebangkrutan di bawah payung Chapter 11 UU Kepailitan AS.
3. Disc Tarra
Pada akhir 2015, kabar tutupnya perusahaan ritel CD musik Disc Tarra menyita perhatian publik di Tanah Air. Semula, manajemen Disc Tarra menjelaskan mereka tidak menutup semua outlet, hanya beberapa saja. Ternyata--tanpa merilis keterangan resmi--Disc Tarra akhirnya menutup semua outlet mereka di awal 2016.
Disc Tarra merupakan korban dari tren konsumen yang drastis berubah. Penikmat musik kini lebih suka menggunakan media digital dibanding harus membeli CD dan kaset di toko.
4. Blockbuster
Blockbuster sempat merajai industri penyewaan film di AS. Jaringan rental video ini berhasil bertahan saat terjadi transisi video dari format VHS ke DVD. Namun, mereka kewalahan saat pasar beralih ke format digital. Apalagi ketika Netflix Inc. mengadopsi strategi digital secara agresif.
Pada awal 2013, Blockbuster menyatakan bangkrut. Dilaporkan BBC, jaringan toko penyewaan film ini menutup 129 cabang mereka di berbagai belahan dunia.
5. Tribune Co.
Perusahaan media cetak pertama yang menyatakan gulung tikar adalah Tribune Co. yang mengajukan perlindungan kepailitan pada awal Desember 2008. Sirkulasi dan pendapatan iklan cetak yang terus merosot drastis membuat perusahaan pemilik Chicago Tribune, Los Angeles, Times, dan enam surat kabar lainnya itu--yang berawak 16 ribu karyawan--kemudian memfokuskan bisnis mereka di media online. Tribune Co. lalu mengalami reorganisasi besar-besaran.
Puncak terpuruknya media cetak karena digerus era digital adalah pada 2009. Di tahun itu, 105 surat kabar ditutup, penjualan iklan cetak turun 30 persen pada kuartal I 2009, dan 23 dari 25 surat kabar terbesar melaporkan penurunan sirkulasi antara 7 sampai 20 persen setiap tahunnya.
Tak hanya di Amerika, rangkaian kisah kematian media cetak juga terjadi di Inggris, menimpa koran ternama The Independent dan mingguan Independent on Sunday. Edisi terakhir keduanya terbit pada 20 dan 26 Maret 2016.
Tak hanya di luar negeri, di Indonesia pun sudah banyak koran dan majalah yang megap-megap, lalu berhenti terbit. Melambungnya ongkos cetak dan distribusi, serta jumlah pembaca dan pendapatan iklan yang terus merosot, jadi bencana di saat konten gratis bertebaran di Internet.
6. Taksi Barwood
Keuangan banyak perusahaan taksi pun mulai tercekik, karena tak siap menghadapi persaingan di era digital. Aplikasi ride-sharing seperti Uber dan Lyft tanpa ampun menggerus lahan taksi tradisional.
Barwood Inc. dan perusahaan taksi afiliasinya mengajukan perlindungan kebangkrutan di pengadilan federal pada 2016. Alasannya, pendapatan perusahaan anjlok karena tak sanggup bersaing dengan Uber dan Lyft yang beroperasi di Montgomery County, Maryland, AS.
Ke pengadilan, perusahaan taksi yang telah beroperasi selama 56 tahun itu melaporkan mengoperasikan armada sebanyak 457 kendaraan. Barwood mencatat pendapatan sekitar US$ 7,1 juta pada 2015 dan merosot jadi US$ 3,3 juta selama 7,5 bulan pertama di tahun 2016. Perusahaan memiliki aset senilai US$ 4,5 juta dan utang US$ 5,4 juta.
Selain itu, sebagaimana dilaporkan San Francisco Examiner, Yellow Cab Co-op, perusahaan taksi terbesar di kota tersebut juga sedang di ambang kebangkrutan. Versi resmi, perusahaan menyatakan kepada Examiner bahwa bisnis mereka "masih sehat". Namun, sebuah surat yang diedarkan oleh sekelompok karyawan menggambarkan kondisi yang berbeda.
"Kami (Yellow Cab Co-op) sedang mengalami kemerosotan keuangan yang serius," demikian isi surat tersebut.
Masalah serupa sedang menghantui perusahaan-perusahaan taksi di Indonesia. Indikasinya bisa dilihat dari jumlah armada taksi tradisional. Pada awal 2014, Organda DKI Jakarta mencatat taksi yang beredar di ibu kota mencapai 25.550 unit. Namun, saat ini tinggal tersisa sekitar 9.000 unit.
Ketua Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan menyebutkan, salah satu perusahaan taksi yang mulai menghentikan operasinya adalah Sri Medali. Padahal, perusahaan ini sempat memiliki 500-an unit taksi. (kd)