Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia terus menjaga kestabilan rupiah demi mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi yang sehat, berkesinambungan, seimbang, dan inklusif.
Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo dalam orasi ilmiahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia mengatakan, stabilitas nilai tukar rupiah ini sangat mempengaruhi upaya pemerintah dalam meningkatkan daya beli masyarakat.
Advertisement
“Kita tidak ingin pembangunan yang kuat saat ini, tetapi esok bisa jatuh. Kita tidak ingin pembangunan yang membuat jarak antara yang kaya dan yang miskin semakin lebar jaraknya,” ujar Agus dalam keterangannya, Kamis (21/9/2017).
Di hadapan ratusan mahasiswa, Gubernur BI menjelaskan mengenai fungsi dan tugas BI dalam menjaga nilai tukar dalam tiga pilar, yakni kebijakan moneter, pengaturan sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan.
Secara rata-rata, rupiah menguat sebesar 0,30 persen menjadi Rp13.309 per dolar AS pada triwulan II 2017. Stabilnya nilai tukar rupiah ditopang oleh aliran dana masuk yang tetap kuat seiring dengan prospek imbal hasil yang positif dan diikuti oleh tetap tingginya pasokan valas korporasi di pasar valas domestik.
Nilai tukar rupiah ke depan diperkirakan tetap stabil didukung oleh keseimbangan neraca pembayaran yang terjaga dan pasar valas domestik yang semakin dalam. Bank Indonesia akan terus melanjutkan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya dengan tetap menjaga bekerjanya mekanisme pasar.
Dalam kebijakan moneter, Agus Martowardojo menjelaskan bauran kebijakan yang dilakukan dalam menjaga inflasi yang terus membaik dalam beberapa tahun terakhir.
“Kami mengharapkan Indonesia bisa masuk menjadi negara dengan inflasi rendah dan stabil,” ujarnya.
Bila dibandingkan dengan negara tetangga, inflasi Indonesia dalam enam tahun terakhir masih berada pada rata-rata 5,2 lersen, lebih tinggi dengan Filipina di bawah 3 persen, maupun Malaysia dan Thailand di kisaran 2 persen.
Dia menjelaskan, tingginya rata-rata tingkat inflasi karena terjadi kenaikan harga BBM yang menyebabkan inflasi tahunan pada 2013 dan 2014 menembus 8,3 perse .
“Namun 2017 inflasi terjaga pada level 4 persen dan pada 2018 kita menargetkan inflasi pada kisaran 3,5 persen,” tambah Agus.
Agus mengungkapkan, Indonesia harus mewaspadai ancaman global terhadap ekonomi. Ancaman utama adalah pembalikan modal atau capital reversal akibat kenaikan The Fed Fund Rate setelah ekonomi Amerika Serikat mengalami pemulihan.
Selain itu, tutur Agus juga perlu diwaspadai bila The Fed mengurangi neraca (balance sheet) surat utang yang dapat mengakibatkan kenaikan nilai Dolar AS.
“Kita juga perlu mewaspadai penurunan kinerja perusahaan ritel, penurunan nilai tukar petani, penurunan pendapatan buruh. Kita harus mewaspadai ini dan perlu disikapi pada sisi fiskal,” tutup Agus. (Yas)