Liputan6.com, New Delhi - Sebuah aplikasi ponsel menjadi alat terbaru bagi para aktivis mengampanyekan penghentian pernikahan anak di negara bagian Bihar, India. Di negara bagian itu, hampir dua per tiga anak perempuan di beberapa daerah pedesaannya sudah menikah sebelum usia 18 tahun.
Aplikasi tersebut, Bandhan Tod, dikembangkan oleh Aliansi Gender - sebuah kelompok kolektif terdiri dari lebih dari 270 badan amal yang bekerja untuk hak-hak gender di Bihar, - dan diluncurkan minggu ini oleh Wakil Menteri Utama Sushil Kumar Modi. Demikian seperti dilansir VOA News Indonesia, Jumat (21/9/2017).
Baca Juga
Advertisement
Pengembangan aplikasi itu turut didukung oleh UN Population Fund.
"Aplikasi ini adalah bagian besar dari usaha kita untuk mengakhiri pernikahan anak di negara bagian," kata Prashanti Tiwary, ketua Aliansi Gender.
"Pendidikan itu bagus, tapi bila seorang gadis menginginkan bantuan karena dia dipaksa untuk menikah sebelum usia yang diperbolehkan secara hukum, aplikasi ini bisa jadi solusi," tambahnya.
Bandhan Tod --yang berarti 'memecahkan ikatan'-- memiliki tombol SOS yang akan memberitahukan tim saat diaktifkan.
Ketika SOS di Bandhan Tod diaktifkan, LSM kecil terdekat akan berusaha menyelesaikan masalah ini. Jika keluarga menolak, polisi akan diberitahu, kata Tiwary.
Aplikasi itu turut berisi sub-fitur yang menjelaskan tentang pernikahan anak serta efek buruknya.
Situasi Pernikahan Anak di India
Menurut UNICEF, organisasi anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa, India termasuk di antara negara-negara dengan tingkat perkawinan anak tertinggi di dunia, terhitung sepertiga dari jumlah total global lebih dari 700 juta perempuan.
Meskipun ada undang-undang yang melarang anak perempuan menikah sebelum mereka berusia 18 tahun, praktik pernikahan dini berakar kuat dalam tradisi dan diterima secara luas di masyarakat India. Hal ini jarang dilaporkan sebagai tindak kriminal dan pejabat sering enggan untuk mengadili para pelanggar.
Pernikahan dini cenderung membuat anak perempuan putus sekolah. Para aktivis mengatakan bahwa hal itu juga meningkatkan risiko kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dan kematian saat melahirkan.
Dalam sebuah laporan tahun ini, badan amal ActionAid India mengatakan, upaya hukum telah gagal mematahkan cengkeraman tradisi dan budaya yang terus mendukung perkawinan anak.
Aplikasi serupa telah diluncurkan di negara bagian Benggala Barat pada 2015, yang dapat melaporkan pernikahan anak dan perdagangan perempuan. Organisasi peluncur aplikasi, Child In Need Institute mengklaim, piranti tersebut telah membantu mencegah beberapa kejadian.
"Seluruh upaya itu akan membawa perubahan pola pikir dan perilaku untuk mengakhiri pernikahan anak," kata Tiwary, yang melobi pemerintah untuk menaikkan usia pernikahan bagi perempuan menjadi 21, sehingga mereka memiliki kesempatan yang sama dengan pria.
"Tapi teknologi menyediakan cara praktis dan mudah diakses untuk membantu mencegahnya di lapangan," katanya.
Advertisement