Nikaragua Akan Menandatangani Kesepakatan Iklim Paris

Hanya tersisa dua negara yang tidak menandatangani Kesepakatan Iklim Paris, yakni AS dan Suriah.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 22 Sep 2017, 09:09 WIB
Ilustrasi perubahan iklim (climate change)

Liputan6.com, Managua - Nikaragua telah mengumumkan akan menandatangani Perjanjian Iklim Paris. Hal ini menjadikan hanya tersisa dua negara, yakni Amerika Serikat dan Suriah yang tidak ikut berpartisipasi dalam kesepakatan global tersebut.

Kesepakatan Iklim Paris yang ditandatangani pada Desember 2015, bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca dan pemanasan global serta membantu negara-negara miskin beradaptasi dengan kondisi planet yang sudah berubah.

Seperti dikutip dari Independent pada Jumat (22/9/2017), surat kabar El Nuevo Diario melaporkan bahwa Presiden Nikaragua Daniel Ortega pada 18 September telah memastikan bergabungnya negara itu dalam Kesepakatan Iklim Paris.

"Kami akan segera mematuhi, kami akan segera menandatangani Perjanjian Paris. Kami telah mengadakan pertemuan untuk membahas masalah ini," ujar Ortega.

Negara yang terletak di Amerika Tengah tersebut pada awalnya menentang Kesepakatan Iklim Paris karena tidak sreg dengan tujuan yang hendak dicapai perjanjian tersebut.

Nikaragua telah menjadi tempat berlindung bagi energi terbarukan -- lebih dari separuh energi di sana berasal dari energi geotermal, angin, matahari, dan gelombang. Mereka berencana untuk meningkatkannya menjadi 90 persen pada tahun 2020.

Pada 2013, Bank Dunia menyebut Nikaragua sebagai "surga energi terbarukan".

Paul Oquist, seorang negosiator untuk Nikaragua di Paris pada saat itu, mengatakan kepada Democracy Now bahwa kesepakatan tersebut benar-benar memproyeksikan sebuah dunia tiga tingkat, serta mengatakan bahwa itu adalah bencana dan tidak dapat diterima.

Nikaragua juga merasa bahwa negara-negara miskin dan berkembang dipaksa memenuhi standar lingkungan yang sama dengan negara-negara kaya yang merupakan penghasil polusi tinggi.

Namun, sekarang Ortega setuju bahwa pihaknya harus menandatangani kesepakatan tersebut sebagai bentuk solidaritas dengan negara-negara lain, terutama setelah Donald Trump membawa AS keluarga dari perjanjian itu.

"Kita harus berbagi solidaritas dengan sejumlah besar negara yang merupakan korban pertama, yang sudah menjadi korban dan orang-orang yang akan terus menderita akibat terdampak bencana ini. Negara-negara di Afrika, Asia, Amerika Latin, dari Karibia, berada di daerah yang sangat rentan," kata Ortega dalam sebuah kutipan yang diterjemahkan.

Menurut Trump, Perjanjian Paris yang ditandatangani AS pada era Barack Obama telah menempatkan pekerja Amerika di sektor batubara, baja, dan industri manufaktur mengalami kerugian ekonomi.

Kesepakatan tersebut tidak berlaku secara resmi sampai tahun 2020 sehingga Nikaragua dapat melakukannya sampai saat itu untuk menghasilkan rencana aksi nasional yang diperlukan dan juga untuk memformalkannya menjadi undang-undang.

Belum ada tanggal pasti di mana Nikaragua akan melakukan penandatanganan kesepakatan tersebut.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya